Sabtu, 18 April 2015

POKOK- POKOK TIMBULNYA ALIRAN DALAM ISLAM


(Kajian Teologis Dan Interpretasinya)
MAKALAH

Dipresentasikan Dalam Mata Kuliah Ilmu Tauhid
Semester Genap 2012
Dosen Pembimbing : Drs. H. Ah. Choiron, M. Ag.




Disusun oleh :
1.      Fina Roichah Al- Miskiyyah        111087
2.      Putri Dwi Fatmawati                   111100
3.      Durrotun Nafi’ah                         111105
4.      Sari Ulya Ningsih                         111106
 



SEKOLAH  TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2012

I.                   PENDAHULUAN
Telah diceritakan sebelum ini, ketika Rasulullah SAW hidup, tidak pernah muncul di kalangan umat Islam perdebatan- perdebatan seputar akidah dan ketuhanan. Tidak pernah muncul pada masa Rasulullah SAW perdebatan tentang status pelaku dosa besar iman atau kafir, perbuatan manusia itu apakah diciptakan oleh mannusia itu sendiri atau diciptakan Allah, atau perdebatan tentang Al- Qur’an, apakah statusnya makhluk ataukah qodim dengan qodim-nya Allah. Justru, perdebatan- perdebatan teologis- filosofis semacam ini baru muncul setelah Rasulullah SAW wafat atau tepatnya pada periode akhir khulafaurrasyidin bersamaan dengan carut- marut politik melanda umat Islam waktu itu dan bertambah luasnya wilayah Islam pada waktu itu yang sudah meluas hingga wilayah bekas kerajaan Persia dan Romawi.
Setidaknya, ada lima faktor kemunculan aliran- aliran teologi dalam Islam. Pertama, fitrah manusia sebagai makhluk yang senantiasa berpikir dan ingin tahu, termasuk keingintahuan akan persoalan- persoalan ketuhanan. Kedua, wafatnya Rasulullah SAW itu sendiri. Karena, sewaktu beliau hidup segala persoalan yang muncul dan penjelasan mengenai ayat- ayat Al- Qur’an, terutama yang terkait dengan permasalahan aqidah, selalu merujuk kepada beliau. Ketiga, berasal dari internal Islam, yakni anjuran Al- Qur’an untuk menggunakan akal. Selain itu, banyak ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits Nabi SAW yang bila dipahami secara parsial, maka akan membawa pada pemahaman yang keliru seperti ayat- ayat mutasyabiha, ayat- ayat yang menjelaskan qodar, dan ayat- ayat lain yang sering dijadikan hujjah oleh beberapa golongan untuk menyokong pendapatnya yang keliru. Namun, yang paling menuntut untuk dibahas ialah faktor keempat dan kelima, yakni kekacauan politik yang melingkupi umat Islam awal pasca wafatnya Rasulullah SAW dan perluasan wilayah Islam pada masa khulafaurrasyidin dan sesudahnya.



II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja faktor- faktor yang menyebabkan munculnya aliran- aliran dalam Islam ?
2.      Persoalan aqidah yang bagaimanakah yang menimbulkan terbentuknya aliran- aliran dalam Islam ?
3.      Bagaimanakah pandangan aliran – aliran dalam Islam terhadap persoalan mengenai sifat- sifat tuhan, keadilan tuhan serta janji dan ancaman ?  

III.             PEMBAHASAN
1.      Faktor- faktor Penyebab Munculnya Aliran dalam Islam
a.       Tendensi (kecenderungan) yang dipengaruhi oleh kepartaian dan fanatisme kesukuan
Tiada penyebab perpecahan umat ini yang lebih hebat selain perbedaan pendapat dalam persoalan Imamah (kepemimpinan umat). Tiada pemberontakan  dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang lebih parah, selain yang terjadi sekitar persoalan ini, disetiap zaman. Pertengkaran dalam masalah itu adalah penyebab utama dan langsung perpecahan selama ini. Sehingga tubuh umat Islam terkoyak menjadi beberapa firqoh.
Para sahabat setelah wafatnya nabi segera memikirkan penggantinya sebagai kepala negara dengan mengadakan pemilihan kholifah. Umat islam pada masa kholifah abu bakar dan umar tetap terjaga kesatuannya, tetapi setelah jabatan kholifah dipegang oleh Utsman Bin Affan, pada masa akhir pemerintahannya kesatuan umat islam mulai goyah dengan terjadinya pemberontakan yang berujung terbunuhnya kholifah utsman. Kaum pemberontak memandang utsman bertindak kurang adil dan menderita nepotisme.setelah wafatnya utsman, Ali Bin Abi Tholib diangkat oleh sebagian besar umat islam menjadi kholifah ke empat. Tetapi kerabat utsman yang dipelopori oleh muawiyah bin Abi Sofyan ( Gubernur Syam) menuntut bela atas kematian Utsman kepada Ali Bin Abi Tholib. Oleh karena Ali tidak segera menangkap dan mengadili pembunuh Utsman akhirnya mereka menuduh Ali terlibat dan bersekongkol dengan kaum pemberontak. Sejak itu mulailah berlangsung serankain pertempuran antara pendukung muawiyah melawan pasukan Ali Bin Abi Tholib yang dikenal dengan perang shifin.
Pasca perang shiffin  (37 hijriyah) yang secara militer dimenangkan oleh pasukan Ali, terjadi sebuah peristiwa yang dikenal majlis tahkim (arbitrase) yaitu permusyawarah untuk menyelesaikan pertikaian antara Ali dan muawiyah, berasal dari majlis tahkim inilah umat islam terpecah menjadi tiga aliran yaitu: pertama,  Kelompok yang tetap setia dan mendukung Ali serta keturunannya yang dikenal dengan syi’ah Ali. Kedua, Kelompok yang semula mendukung ali kemudian keluar karena ali menyetujui majlis tahkim yang berakhir dengan kekalahan secara politis mereka diknal dengan Khowarij.  Ketiga,  juhur al-muslimin sebagai kelompok mayoritas umat islam yang mengambil sikap moderat dan mengakui kekholifahan muawiyah bin abi sofyan setelah mundurnya khasan bin ali sebagai realisasi dari Amul jama’ah.[1]
b.      Kesalahpahaman dan pemutarbalikan tentang pembatasan hakikat agama
Kesalahpahaman dan kelalaian di antara sebagian mereka dalam memberikan batasan aqidah, dikarenakan keterbatasan daya pikir dan kurangnya penalaran sebagian mereka dalam menelaah esensi agama.
c.       Larangan menulis, menukil, serta meriwayatkan hadits Nabi
Larangan menulis hadits nabi ini dikarenakan adanya kekhawatiran akan tercampurnya Al- Qur’an dan Al- Hadits.
d.      Memberi peluang luas kepada Ahbar (pendeta Yahudi) dan Ruhban (pendeta Nashrani) menceritakan kisah- kisah orang- orang yang terdahulu dan kemudian
Kerugian yang diderita Islam dan kaum muslim akibat pelarangan penulisan dan penyebaran hadits amat besar, yang tidak dapat ditaksir dengan bilangan berapapun. Betapa tidak, karena tersebar luasnya kekacauan dalam ‘aqoid (kepercayaan- kepercayaan), amal ibadah, etika, pendidikan, dan prinsip- prinsip (islam), akibat pelarangan tersebut. Keadaan ini merupakan lahan yang cocok untuk lahirnya bid’ah- bid’ah israiliyat, cerita- cerita masehiyat, dan dongeng- dongeng majusiyat. Terutama tindakan para Ahbar dan Ruhban. Mereka banyak menciptakan seakan hadits itu dari para Nabi dan Rasul. Mereka juga menciptakan dongeng- dongeng yang seolah- olah bersumber dari lisan Nabi Muhammad SAW.
e.       Pencampuran kebudayaan dan peradaban antara kaum Muslimin dan bangsa- bangsa selainnya
Setelah Nabi Mulia wafat, kaum muslim berhasil mengembangkan sayapnya sehingga berhasil menguasai beberapa negeri dan wilayah, hasilnya kota- kota Islam pun meluas. Sedangkan negeri yang berada di bawah kaum muslimin, dijumpai bangsa- bangsa yang memiliki kebudayaan, peradaban, dan berbagai pengatahuan serta adab.
Kemudian dari kalangan umat muslim, banyak yang menaruh minat untuk mempelajari pengetahuan peradaban setempat, seperti adab dan kesenian, lalu keinginan itu dikembangkan melalui diskusi, seminar dengan menukil dan mengutip berbagai buku karya mereka yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
f.       Ijtihad yang bertentangan dengan nash
Kita tahu bahwa ummah (generasi penerus), sepeninggal Rasul Allah SAW, (dengan segala persoalannya) merujuk kepada sohabi dan tabi’in, juga kepada siapa yang pernah berjumpa dengan Nabi. Meskipun begitu, mereka berpaling dari Ahl Al- Bayt An- Nubuwwah (Rumah tangga kenabian), pusat risalah, persinggahan malaikat, tempat turunnya wahyu. Jadi, upaya mereka sedemikian itu tak lain adalah ijtihad yang bertentangan dengan nash. [2]

2.      Persoalan aqidah yang menimbulkan terbentuknya aliran dalam Islam
Pasca periode khulafaurrosyidin, pertikaian politik merembet pada persoalan aqidah sehingga mengakibatkan terbentuknya aliran- aliran teologi. Persoalan aqidah yang bagaimanakah itu ?
Perpecahan yang terjadi di kalangan sahabat adalah murni disebabkan oleh persoalan politik, sama sekali tidak menjerumus pada persoalan aqidah. Namun, dikemudian hari tepatnya pasca periode khulafaurrosyidin, pertikaian politik itu merembet pada persoalanaqidah. Berawal dari sinilah persoalan- persoalan aqidah terus berkembang hingga membentuk aliran- aliran teologi.
Persoalan itu muncul pertama kali dari kelompok khawarij yang mengatakan bahwa orang- orang yang menyetujui dan terlibat dalam tahkim telah kafir, karena tidak mengambil hukum dengan hokum Allah. [3]Mereka menganggap Ali, Umayyah, ‘Amr bin ‘Ash serta Abu Musa Al- Asy’ari yang mendukung arbitrase adalah telah melakukan dosa besar dan pelaku dosa besar dihukumi kafir[4]. Mereka menyandarkan pendapatnya pada literal QS. Al- Ma’idah: 44 yang artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Menurut golongan khawarij, mengerjakan perintah- perintah agama seperti sholat, puasa, jujur, adil, dan sebagainya menjadi bagian iman, karena iman bukan hanya sekedar kepercayaan semata. Siapa yang percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya, kemudian tidak mengerjakan kewajiban- kewajiban agama atau kemudian melakukan dosa besar maka ia menjadi orang kafir.
Persoalan khilafah yang berujung pada keputusan kafir terhadap pelaku dosa besar memicu munculnya aliran baru yang disebut Murji’ah pada masa dinasti Umayyah. Mereka tidak setuju jika Ali bin Abi Tholib, Mu’awiyah, dan ‘Amr bin ‘Ash divonis kafir. Artinya kaum Murjiah sangat bertolak belakang dengan kaum khawarij dalam persoalan perlakuan dosa besar. Menurut khawarij, pelaku dosa besar adalah kafir sedang murjiah menganggap bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, dan untuk persoalan dosa diserahkan kepada Allah. Hanya Allah yang  berhak menghakimi pelaku dosa besar.
Perdebatan tentang perlakuan dosa besar ini ternyata mengundang reaksi salah satu aliran teologi Islam yang disebut dengan muktazilah untuk ikut andil di dalamnya. Aliran yang didirikan oleh Washil bin Atho’ ini juga mempunyai pandangan yang berbeda dengan kaum murjiah dan khawarij. Menurut Washil, pelaku dosa besar bukan kafir tetapi bukan juga mukmin. Mereka mengambil posisi di antara mukmin dan kafir. Dalam istilah Mu’tazilah, disebut dengan Al- Manzilah bain Al- Manzilatain (posisi di antara dua posisi). Pelaku dosa besar menurut muktazilah tidak dapat dinamakan mu’min secara mutlaq, sebab keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Alla, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran saja. Sedang melakukan dosa besar  bukan merupakan kepatuhan, melainkan kedurhakaan. Pelaku dosa besar juga tidak dapat dinamakan kafir secara mutlaq sebab ia masih percaya kepada Allah dan Rasul- Nya.
Persoalan khilafah juga memantik kemunculan aliran teologi lain yang disebut dengan Qadariyah. Aliran ini juga mempunyai pandangan yang berbeda tentang persoalan kepemimpinan. Menurut mereka, seorang pemimpin harus dinilai dari kebaikan mereka dan harus ditindak dengan tegas jika menyimpang dari norma- norma agama. Aliran yang mempunyai keyakinan bahwa setiap manusia diberi kebebasan untuk berkehendak dan bertanggung jawab atas segala perbuatan mereka sendiri sebenarnya menerima kekuasaan dinasti Umayyah. Mereka menganggap dinasti Umayyah mampu mempertahankan kesatuan umat Islam. Paham Jabariyah yang menegaskan kepasrahan mutlaq manusia kepada tuhan. Manusia dalam segala kehendak atau perbuatannya tak ubahnya seperti ranting kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka (segala atas kodrat Tuhan semata). Menurut Jabariyah, manusia adalah mahluk yang lemah dan seluruh perbuatannya merupakan paksaan dari Allah.
3.      pandangan aliran – aliran dalam Islam terhadap persoalan mengenai sifat- sifat tuhan, keadilan tuhan serta janji dan ancaman
·               Sifat-sifat Tuhan dan pengEsa-an sifat. Keselisihan tentang pokok persoalan ini menimbulkan aliran-aliran Asy’ariyah, Karomiyah, Mujassimah, dan Mu’tazilah.
·               Qodar dan keadilan Tuhan. Keselisihan tentang soal ini menimbulkan golongan-golongan : qodariyah, nijariyah, jabariyah, asy’ariyah, dan karomiyah.
·               Janji dan ancaman ( al wa’du  wal wa’idu ), nama dan hukum ( asna wal ahkam ) maksudnya tentang iman dan batas-batasnya, serta keputusan tentang sesat atau kafir orang yang tidak mempunyai iman yang lengkap. Persoalan ini menimbulkan aliran-aliran Murji’ah, Wa’idiyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Karomiyah.
·               Sama’ dan akal ( maksudnya : apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’ atau dapat diketemukan akal pikiran), keutusan nabi dan imamah (khilafat). Persoalan ini menimbulkan aliran syi’ah, khowarij, mu’tazilah, karomiyah, dan asy’ariyah.[5]
IV.             ANALISA
Zaman sekarang ini, realita yang ada di masyarakat sangat mencengangkan. Banyak bermunculan aliran- aliran sempalan Islam yang sangat fanatik terhadap golongannya. Entah munculnya aliran tersebut berasal dari dalam Islam sendiri, ataupun dari luar.
Indonesia merupakan Negara yang bermacam- macam penduduknya (pluralisme), dalam hal suku, agama, golongan, ras, etnis, dan sebagainya. Tapi dari keragaman tersebut seharusnya timbul rasa persaudaraan dan kesatuan atas keberagaman tersebut.
Di dalam Islam pun demikian, meskipun beragam dalam hal ajaran, tapi inti dari agama Islam adalah sama. Tapi, kita harus bias memilih ajaran yang benar menurut syari’at dan yang salah.

V.                KESIMPULAN
Faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya aliran- aliran dalam Islam:
-          Tendensi (kecenderungan) yang dipengaruhi oleh kepartaian dan fanatisme kesukuan
-          Kesalahpahaman dan pemutarbalikan tentang pembatasan hakikat agama
-          Larangan menulis, menukil, serta meriwayatkan hadits Nabi
-          Memberi peluang luas kepada Ahbar (pendeta Yahudi) dan Ruhban (pendeta Nashrani) menceritakan kisah- kisah orang- orang yang terdahulu dan kemudian
-          Pencampuran kebudayaan dan peradaban antara kaum Muslimin dan bangsa- bangsa selainnya
-          Ijtihad yang bertentangan dengan nash
Persoalan aqidah yang menimbulkan terbentuknya aliran dalam Islam adalah perpecahan yang terjadi di kalangan sahabat adalah murni disebabkan oleh persoalan politik, sama sekali tidak menjerumus pada persoalan aqidah. Namun, dikemudian hari tepatnya pasca periode khulafaurrosyidin, pertikaian politik itu merembet pada persoalanaqidah. Berawal dari sinilah persoalan- persoalan aqidah terus berkembang hingga membentuk aliran- aliran teologi.
Pandangan aliran – aliran dalam Islam terhadap persoalan mengenai sifat- sifat tuhan, keadilan tuhan serta janji dan ancaman berbeda satu dengan yang lainnya.





















DAFTAR PUSTAKA
Fathul Mufid. Ilmu Tauhid/ kalam. STAIN: Kudus, 2009
Hasan Musawa, Al- Milal wan Nihal Studi Tematik Madzhab Kalam, (Al- Hadi: Pekalongan)    1997
Tim Karya Ilmiah (KAISAR ’08) Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien, Aliran-  Aliran Teologi Islam, Purna Siswa Aliyah: Lirboyo, 2008
Sri Indah, 2011, Modul Aqidah
A. Hanafi.1980. Pengantar THEOLOGI ISLAM. Pstaka Al-khusna: Jakarta.

























[1] Fathul Mufid.2009. Ilmu Tauhid/ kalam. STAIN: Kudus. hal.104-105
[2] Hasan Musawa, Al- Milal wan Nihal Studi Tematik Madzhab Kalam, (Al- Hadi: Pekalongan)    1997, hal: 38
[3] Tim Karya Ilmiah (KAISAR ’08) Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien, Aliran- ALiran Teologi Islam, Purna Siswa Aliyah: Lirboyo, 2008, hal: 94
[4] Sri Indah, 2011, Modul Aqidah
[5] A. Hanafi.1980. Pengantar THEOLOGI ISLAM. Pstaka Al-khusna:Jakarta. Hlm 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar