(Kajian Teologis Dan Interpretasinya)
MAKALAH
Dipresentasikan
Dalam Mata Kuliah Ilmu Tauhid
Semester Genap
2012
Dosen
Pembimbing : Drs. H. Ah. Choiron, M. Ag.
Disusun oleh :
1.
Fina Roichah Al- Miskiyyah 111087
2.
Putri Dwi Fatmawati 111100
3.
Durrotun Nafi’ah 111105
4.
Sari Ulya Ningsih 111106
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH / PAI
2012
I.
PENDAHULUAN
Telah
diceritakan sebelum ini, ketika Rasulullah SAW hidup, tidak pernah muncul di
kalangan umat Islam perdebatan- perdebatan seputar akidah dan ketuhanan. Tidak
pernah muncul pada masa Rasulullah SAW perdebatan tentang status pelaku dosa
besar iman atau kafir, perbuatan manusia itu apakah diciptakan oleh mannusia
itu sendiri atau diciptakan Allah, atau perdebatan tentang Al- Qur’an, apakah
statusnya makhluk ataukah qodim dengan qodim-nya Allah. Justru,
perdebatan- perdebatan teologis- filosofis semacam ini baru muncul setelah
Rasulullah SAW wafat atau tepatnya pada periode akhir khulafaurrasyidin
bersamaan dengan carut- marut politik melanda umat Islam waktu itu dan
bertambah luasnya wilayah Islam pada waktu itu yang sudah meluas hingga wilayah
bekas kerajaan Persia dan Romawi.
Setidaknya,
ada lima faktor kemunculan aliran- aliran teologi dalam Islam. Pertama, fitrah
manusia sebagai makhluk yang senantiasa berpikir dan ingin tahu, termasuk
keingintahuan akan persoalan- persoalan ketuhanan. Kedua, wafatnya Rasulullah
SAW itu sendiri. Karena, sewaktu beliau hidup segala persoalan yang muncul dan
penjelasan mengenai ayat- ayat Al- Qur’an, terutama yang terkait dengan
permasalahan aqidah, selalu merujuk kepada beliau. Ketiga, berasal dari
internal Islam, yakni anjuran Al- Qur’an untuk menggunakan akal. Selain itu,
banyak ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits Nabi SAW yang bila dipahami secara
parsial, maka akan membawa pada pemahaman yang keliru seperti ayat- ayat mutasyabiha,
ayat- ayat yang menjelaskan qodar, dan ayat- ayat lain yang sering
dijadikan hujjah oleh beberapa golongan untuk menyokong pendapatnya yang
keliru. Namun, yang paling menuntut untuk dibahas ialah faktor keempat dan
kelima, yakni kekacauan politik yang melingkupi umat Islam awal pasca wafatnya
Rasulullah SAW dan perluasan wilayah Islam pada masa khulafaurrasyidin dan
sesudahnya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
saja faktor- faktor yang menyebabkan munculnya aliran- aliran dalam Islam ?
2.
Persoalan aqidah yang bagaimanakah yang menimbulkan terbentuknya aliran-
aliran dalam Islam ?
3.
Bagaimanakah
pandangan aliran – aliran dalam Islam terhadap persoalan mengenai sifat- sifat
tuhan, keadilan tuhan serta janji dan ancaman ?
III.
PEMBAHASAN
1.
Faktor-
faktor Penyebab Munculnya Aliran dalam Islam
a.
Tendensi
(kecenderungan) yang dipengaruhi oleh kepartaian dan fanatisme kesukuan
Tiada
penyebab perpecahan umat ini yang lebih hebat selain perbedaan pendapat dalam
persoalan Imamah (kepemimpinan umat). Tiada pemberontakan dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang
lebih parah, selain yang terjadi sekitar persoalan ini, disetiap zaman.
Pertengkaran dalam masalah itu adalah penyebab utama dan langsung perpecahan
selama ini. Sehingga tubuh umat Islam terkoyak menjadi beberapa firqoh.
Para
sahabat setelah wafatnya nabi segera memikirkan penggantinya sebagai kepala
negara dengan mengadakan pemilihan kholifah. Umat islam pada masa kholifah abu
bakar dan umar tetap terjaga kesatuannya, tetapi setelah jabatan kholifah
dipegang oleh Utsman Bin Affan, pada masa
akhir pemerintahannya kesatuan umat islam mulai goyah dengan terjadinya
pemberontakan yang berujung terbunuhnya kholifah utsman. Kaum pemberontak
memandang utsman bertindak kurang adil dan menderita nepotisme.setelah wafatnya
utsman, Ali Bin Abi Tholib diangkat oleh sebagian besar umat islam menjadi
kholifah ke empat. Tetapi kerabat utsman yang dipelopori oleh muawiyah bin Abi
Sofyan ( Gubernur Syam) menuntut bela atas kematian Utsman kepada Ali Bin Abi
Tholib. Oleh karena Ali tidak segera menangkap dan mengadili pembunuh Utsman
akhirnya mereka menuduh Ali terlibat dan bersekongkol dengan kaum pemberontak.
Sejak itu mulailah berlangsung serankain pertempuran antara pendukung muawiyah
melawan pasukan Ali Bin Abi Tholib yang dikenal dengan perang shifin.
Pasca
perang shiffin (37 hijriyah) yang secara
militer dimenangkan oleh pasukan Ali, terjadi sebuah peristiwa yang dikenal
majlis tahkim (arbitrase)
yaitu permusyawarah untuk menyelesaikan pertikaian antara Ali dan muawiyah,
berasal dari majlis tahkim inilah umat islam terpecah menjadi tiga aliran yaitu: pertama,
Kelompok yang tetap setia dan mendukung Ali
serta keturunannya yang dikenal dengan syi’ah Ali. Kedua, Kelompok yang semula mendukung ali kemudian keluar karena ali
menyetujui majlis tahkim yang berakhir dengan kekalahan secara politis mereka
diknal dengan Khowarij. Ketiga, juhur al-muslimin sebagai kelompok mayoritas
umat
islam yang mengambil sikap moderat dan mengakui kekholifahan muawiyah bin abi
sofyan setelah mundurnya khasan bin ali
sebagai realisasi dari Amul jama’ah.[1]
b.
Kesalahpahaman
dan pemutarbalikan tentang pembatasan hakikat agama
Kesalahpahaman
dan kelalaian di antara sebagian mereka dalam memberikan batasan aqidah,
dikarenakan keterbatasan daya pikir dan kurangnya penalaran sebagian mereka
dalam menelaah esensi agama.
c.
Larangan
menulis, menukil, serta meriwayatkan hadits Nabi
Larangan menulis hadits nabi ini dikarenakan adanya
kekhawatiran akan tercampurnya Al- Qur’an dan Al- Hadits.
d.
Memberi
peluang luas kepada Ahbar (pendeta Yahudi) dan Ruhban (pendeta
Nashrani) menceritakan kisah- kisah orang- orang yang terdahulu dan kemudian
Kerugian yang diderita Islam dan kaum muslim akibat pelarangan penulisan
dan penyebaran hadits amat besar, yang tidak dapat ditaksir dengan bilangan
berapapun. Betapa tidak, karena tersebar luasnya kekacauan dalam ‘aqoid (kepercayaan- kepercayaan), amal
ibadah, etika, pendidikan, dan prinsip- prinsip (islam), akibat pelarangan
tersebut. Keadaan ini merupakan lahan yang cocok untuk lahirnya bid’ah- bid’ah
israiliyat, cerita- cerita masehiyat, dan dongeng- dongeng majusiyat. Terutama
tindakan para Ahbar dan Ruhban. Mereka banyak menciptakan seakan hadits itu
dari para Nabi dan Rasul. Mereka juga menciptakan dongeng- dongeng yang seolah-
olah bersumber dari lisan Nabi Muhammad SAW.
e.
Pencampuran
kebudayaan dan peradaban antara kaum Muslimin dan bangsa- bangsa selainnya
Setelah Nabi Mulia wafat, kaum muslim berhasil
mengembangkan sayapnya sehingga berhasil menguasai beberapa negeri dan wilayah,
hasilnya kota- kota Islam pun meluas. Sedangkan negeri yang berada di bawah
kaum muslimin, dijumpai bangsa- bangsa yang memiliki kebudayaan, peradaban, dan
berbagai pengatahuan serta adab.
Kemudian dari kalangan umat muslim, banyak yang menaruh minat untuk
mempelajari pengetahuan peradaban setempat, seperti adab dan kesenian, lalu
keinginan itu dikembangkan melalui diskusi, seminar dengan menukil dan mengutip
berbagai buku karya mereka yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
f.
Ijtihad
yang bertentangan dengan nash
Kita tahu bahwa ummah
(generasi penerus), sepeninggal Rasul Allah SAW, (dengan segala
persoalannya) merujuk kepada sohabi dan tabi’in, juga kepada siapa yang pernah
berjumpa dengan Nabi. Meskipun begitu, mereka berpaling dari Ahl Al- Bayt An-
Nubuwwah (Rumah tangga kenabian), pusat risalah, persinggahan malaikat, tempat
turunnya wahyu. Jadi, upaya mereka sedemikian itu tak lain adalah ijtihad yang
bertentangan dengan nash. [2]
2. Persoalan aqidah yang menimbulkan
terbentuknya aliran dalam Islam
Pasca periode khulafaurrosyidin, pertikaian politik
merembet pada persoalan aqidah sehingga mengakibatkan terbentuknya aliran-
aliran teologi. Persoalan aqidah yang bagaimanakah itu ?
Perpecahan yang terjadi di kalangan sahabat adalah
murni disebabkan oleh persoalan politik, sama sekali tidak menjerumus pada
persoalan aqidah. Namun, dikemudian hari tepatnya pasca periode
khulafaurrosyidin, pertikaian politik itu merembet pada persoalanaqidah.
Berawal dari sinilah persoalan- persoalan aqidah terus berkembang hingga
membentuk aliran- aliran teologi.
Persoalan itu muncul pertama kali dari kelompok
khawarij yang mengatakan bahwa orang- orang yang menyetujui dan terlibat dalam
tahkim telah kafir, karena tidak mengambil hukum dengan hokum Allah. [3]Mereka
menganggap Ali, Umayyah, ‘Amr bin ‘Ash serta Abu Musa Al- Asy’ari yang
mendukung arbitrase adalah telah melakukan dosa besar dan pelaku dosa besar
dihukumi kafir[4].
Mereka menyandarkan pendapatnya pada literal QS. Al- Ma’idah: 44 yang artinya :
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.
Menurut golongan khawarij, mengerjakan perintah-
perintah agama seperti sholat, puasa, jujur, adil, dan sebagainya menjadi
bagian iman, karena iman bukan hanya sekedar kepercayaan semata. Siapa yang
percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya, kemudian tidak
mengerjakan kewajiban- kewajiban agama atau kemudian melakukan dosa besar maka
ia menjadi orang kafir.
Persoalan khilafah
yang berujung pada keputusan kafir terhadap pelaku dosa besar memicu
munculnya aliran baru yang disebut Murji’ah pada masa dinasti Umayyah. Mereka
tidak setuju jika Ali bin Abi Tholib, Mu’awiyah, dan ‘Amr bin ‘Ash divonis
kafir. Artinya kaum Murjiah sangat bertolak belakang dengan kaum khawarij dalam
persoalan perlakuan dosa besar. Menurut khawarij, pelaku dosa besar adalah
kafir sedang murjiah menganggap bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, dan untuk
persoalan dosa diserahkan kepada Allah. Hanya Allah yang berhak menghakimi pelaku dosa besar.
Perdebatan tentang perlakuan dosa besar ini ternyata
mengundang reaksi salah satu aliran teologi Islam yang disebut dengan
muktazilah untuk ikut andil di dalamnya. Aliran yang didirikan oleh Washil bin
Atho’ ini juga mempunyai pandangan yang berbeda dengan kaum murjiah dan khawarij.
Menurut Washil, pelaku dosa besar bukan kafir tetapi bukan juga mukmin. Mereka
mengambil posisi di antara mukmin dan kafir. Dalam istilah Mu’tazilah, disebut
dengan Al- Manzilah bain Al- Manzilatain (posisi
di antara dua posisi). Pelaku dosa besar menurut muktazilah tidak dapat
dinamakan mu’min secara mutlaq, sebab keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada
Alla, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran saja. Sedang melakukan
dosa besar bukan merupakan kepatuhan,
melainkan kedurhakaan. Pelaku dosa besar juga tidak dapat dinamakan kafir
secara mutlaq sebab ia masih percaya kepada Allah dan Rasul- Nya.
Persoalan khilafah juga memantik kemunculan aliran
teologi lain yang disebut dengan Qadariyah. Aliran ini juga mempunyai pandangan
yang berbeda tentang persoalan kepemimpinan. Menurut mereka, seorang pemimpin
harus dinilai dari kebaikan mereka dan harus ditindak dengan tegas jika
menyimpang dari norma- norma agama. Aliran yang mempunyai keyakinan bahwa
setiap manusia diberi kebebasan untuk berkehendak dan bertanggung jawab atas
segala perbuatan mereka sendiri sebenarnya menerima kekuasaan dinasti Umayyah.
Mereka menganggap dinasti Umayyah mampu mempertahankan kesatuan umat Islam.
Paham Jabariyah yang menegaskan kepasrahan mutlaq manusia kepada tuhan. Manusia
dalam segala kehendak atau perbuatannya tak ubahnya seperti ranting kayu yang
bergerak lantaran terpaksa belaka (segala atas kodrat Tuhan semata). Menurut
Jabariyah, manusia adalah mahluk yang lemah dan seluruh perbuatannya merupakan
paksaan dari Allah.
3. pandangan aliran – aliran dalam Islam terhadap persoalan mengenai sifat-
sifat tuhan, keadilan tuhan serta janji dan ancaman
·
Sifat-sifat
Tuhan dan pengEsa-an sifat. Keselisihan tentang pokok persoalan ini menimbulkan
aliran-aliran Asy’ariyah, Karomiyah, Mujassimah, dan Mu’tazilah.
·
Qodar
dan keadilan Tuhan. Keselisihan tentang soal ini menimbulkan golongan-golongan
: qodariyah, nijariyah, jabariyah, asy’ariyah, dan karomiyah.
·
Janji
dan ancaman ( al wa’du wal wa’idu ),
nama dan hukum ( asna wal ahkam ) maksudnya tentang iman dan batas-batasnya,
serta keputusan tentang sesat atau kafir orang yang tidak mempunyai iman yang
lengkap. Persoalan ini menimbulkan aliran-aliran Murji’ah, Wa’idiyah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Karomiyah.
·
Sama’
dan akal ( maksudnya : apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’
atau dapat diketemukan akal pikiran), keutusan nabi dan imamah (khilafat).
Persoalan ini menimbulkan aliran syi’ah, khowarij, mu’tazilah, karomiyah, dan
asy’ariyah.[5]
IV.
ANALISA
Zaman sekarang ini, realita yang ada di masyarakat
sangat mencengangkan. Banyak bermunculan aliran- aliran sempalan Islam yang
sangat fanatik terhadap golongannya. Entah munculnya aliran tersebut berasal
dari dalam Islam sendiri, ataupun dari luar.
Indonesia merupakan Negara yang bermacam- macam
penduduknya (pluralisme), dalam hal suku, agama, golongan, ras, etnis, dan
sebagainya. Tapi dari keragaman tersebut seharusnya timbul rasa persaudaraan
dan kesatuan atas keberagaman tersebut.
Di dalam Islam pun demikian, meskipun beragam dalam
hal ajaran, tapi inti dari agama Islam adalah sama. Tapi, kita harus bias
memilih ajaran yang benar menurut syari’at dan yang salah.
V.
KESIMPULAN
Faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya aliran-
aliran dalam Islam:
-
Tendensi
(kecenderungan) yang dipengaruhi oleh kepartaian dan fanatisme kesukuan
-
Kesalahpahaman
dan pemutarbalikan tentang pembatasan hakikat agama
-
Larangan
menulis, menukil, serta meriwayatkan hadits Nabi
-
Memberi
peluang luas kepada Ahbar (pendeta Yahudi) dan Ruhban (pendeta
Nashrani) menceritakan kisah- kisah orang- orang yang terdahulu dan kemudian
-
Pencampuran
kebudayaan dan peradaban antara kaum Muslimin dan bangsa- bangsa selainnya
-
Ijtihad
yang bertentangan dengan nash
Persoalan
aqidah yang menimbulkan terbentuknya aliran dalam Islam adalah perpecahan yang
terjadi di kalangan sahabat adalah murni disebabkan oleh persoalan politik,
sama sekali tidak menjerumus pada persoalan aqidah. Namun, dikemudian hari
tepatnya pasca periode khulafaurrosyidin, pertikaian politik itu merembet pada
persoalanaqidah. Berawal dari sinilah persoalan- persoalan aqidah terus
berkembang hingga membentuk aliran- aliran teologi.
Pandangan aliran – aliran dalam Islam terhadap persoalan mengenai sifat-
sifat tuhan, keadilan tuhan serta janji dan ancaman berbeda satu dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fathul Mufid. Ilmu
Tauhid/ kalam. STAIN:
Kudus, 2009
Hasan
Musawa, Al- Milal wan Nihal Studi Tematik
Madzhab Kalam, (Al- Hadi: Pekalongan)
1997
Tim
Karya Ilmiah (KAISAR ’08) Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien, Aliran- Aliran Teologi Islam, Purna Siswa Aliyah:
Lirboyo, 2008
Sri
Indah, 2011, Modul Aqidah
A. Hanafi.1980. Pengantar
THEOLOGI ISLAM. Pstaka Al-khusna: Jakarta.
[2] Hasan
Musawa, Al- Milal wan Nihal Studi Tematik
Madzhab Kalam, (Al- Hadi: Pekalongan) 1997, hal: 38
[3] Tim Karya
Ilmiah (KAISAR ’08) Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien, Aliran- ALiran Teologi
Islam, Purna Siswa Aliyah: Lirboyo, 2008, hal: 94
[5] A. Hanafi.1980. Pengantar
THEOLOGI ISLAM. Pstaka Al-khusna:Jakarta. Hlm 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar