FILSAFAT ILLUMINASI
Makalah
Makalah
ini disusun guna memenuhui tugas
Mata Kuliah: Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Fathul Mufid, M. Si

Disusun
Oleh:
Fina Roihah
Almiskiyyah : 111087
Sari Ulya
Ningsih : 111106
Aziz Nor
Fakhruddin : 111 101

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
TARBIYAH/PAI
2012
A. Pendahuluan
Suhrawardi Al-Maqtul merupakan salah seorang tokoh filsafat islam dan
beliau juga merupakan generasi pertama para sufi filosof. Suhrawardi terkenal
dengan filsafat illuminasinya.
Pemikiran isyraqiyah (illuminatif) secara ontologis maupun epistemologis,
lahir sebagai alternative atas kelemahan-kelemahan yang ada pada filsafat
sebelumnya, khususnya paripatetik Aristotelian. Menurut Suhrawardi, filsafat
paripatetik yang sampai saat itu dianggap paling unggul, ternyata mengandung
bermacam kekurangan. Secara epistemologis, ia tidak bisa menggapai seluruh
realitas. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, bahkan
silogisme rasional sendiri, pada saat tertentu, tidak bisa menjelaskan atau
mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.
Sementara dari sisi ontologis, Suhrawardi tidak bisa menerima konsep
paripatetik, antara lain dalam soal eksistensi-essensi. Baginya yang
fundamental dari realitas adalah essensi, bukan eksistensi seperti diklaim kaum
paripatetik. Essensilah yang primer sedangkan eksistensi hanya sekunder,
merupakan sifat dan hanya ada dalam pikiran.[1]
Berdasarkan uraian diatas, pemakalah akan memaparkan filsafat illuminasi
Suhrawardi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan pendahuluan
diatas, maka diperoleh beberapa masalah yaitu:
1.
Bagaimana biografi Suhrawardi?
2.
Apa pengertian dari illuminasi? dan apa
saja sumber-sumber illuminasi?
3.
Bagaimana pemikiran Suhrawardi terhadap
filsafat illuminasi?
4.
Bagaimankah metode mendapatkan
pengetahuan isyraqi?
C. Pembahasan
1. Biografi
Suhrawardi
Nama
lengkap Suhrawardi adalah syihab al-din yahya ibn habasy ibn amira.[2] Ia dilahirkan di Suhrawad
sekitar tahun 550H dan meninggal dunia karena dibunuh pada tahun 578H di Halb
(Aleppo). Karena itulah ia digelari Al-Maqtul (yang dibunuh), sebagai pembedaan
dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (meninggal tahun
563H) dan Abu hatah Syihabudin Al-Suhrawardi Al-Baghdadi (meninggal tahun 632H),
penyusun kitab Awarif ‘Alal-Ma`arif.[3]
Al-Suhrawardi
memulai pendidikannya di Maraghah dibawah bimbingan Majdud Al-Din Al-Jilli,
dalam bidang Fikih dan Teologi. Selanjutnya pergi ke Isfahan untuk lebih
mendalami studinya pada Zahir Al-Din Qari dan Fakrud Al-Din Al-Mardini (wafat
tahun 1198M) dimana ia diduga sebagai guru Suharawardi yang paling penting
selain itu, ia juga belajar logika pada Zahir Al-Farisi, yang mengajarkan
Al-Bashair Al-Nashiriyah, kitab karya Umar ibn Sahlan Al-Sawi (wafat 1183M),
ahli logika terkenal sekaligus salah satu pemikir illuminasionis awal dalam
Islam.
Setelah
itu, Suhrawardi pergi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru sufi
dan hidup secara asketis. Selanjuutnya ia pergi ke Aleppo, berguru pada Syafir
Iftikhar Al-Din, dan di kota ini Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para
Faqih menjadi iri dan mengecamnya. Akibatnya ia dipanggil pangeran Malik
al-Zahir, penguasa Aleppo, putra Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi, untuk
dipertemukan dengan para Fuqoha dan Teolog. Namun dalam perdebatan ini
Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat yang ini justru
membuatnya dekat dengan Pangeran Zahir dan pendapat-pendapatnya disambut secara
baik.
Tetapi
orang-orang yang dengki terhadapnya melaporkan kepada Shalahudin Al-Ayyubi yang
memperingatkan bahaya akan tersesatnya aqidah Zahir jika bersahabat dengan
Suhrawardi Shalahudin yang terpengaruh dengan laporan tersebut, kemudian
memerintahkan Zahir untuk segera membunuuh Suhrawardi. akhirnya Suhrawardi di
hokum mati tahubn 1191H, di Halb dalam usia 38 tahun.
Suhrawardi
telah menguasai pengetahuan Filsafat dan Tasawuf begitu mendalam, serta mampu
menguraikannya secara baik. Bahkan dalam kitab Thabaqat al-atibba` menyebut
Suhrawardi sebagai tokoh zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai
ilmu filsafat dan memahami Usul Fiqih begitu cerdas dan begitu fasih
ungkapannya.[4]
Al-Suhrawardi
telah meninggalkan sejumlah karya dan risalah antara lain adalah Hikmah
Al-Isyraq, Al Talwihat, Hayakil Al-Nur, Al Muqawimat, Al Muthoribat al Awah
al-Aimadiyyah dan sebagian doa-doa.
2. Pengertian
Iluminasi dan sumber-sumber illuminasi
Illuminasi
dalam bahasa Inggris adalah illuminiation yang dijadikan padanan kata
Isyraq yang berarti cahaya atau penerangan. Tegasnya illuminasi (Isyraqi)
berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai
lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan.
Dalam bahasa filsafat, iluminationisme berarti sumber kontemplasi atau
perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni.
Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori yang diyakini
melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamya
pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang
bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai
bersama-sama. Karena itu menurut kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah
penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan subsatansi
cahaya.
Lebih
jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya
digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi,
hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan
tingkat-tingakat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya penggunaan
simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyraqiah.
Selanjutnya,
sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran Isyraqi Suhrawardi, menurut
SH. Nasr terdiri atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran Sufisme,
khususnya karya-karya al Hallaj (858 – 913 M) dan al Ghazali (1058 – 1111 M).
Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya
hubungan antara nur (cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung
pada pemikiran illuminasi Suhrawardi. Kedua, pemikiran filsafat
paripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Sebagai asas penting dalam
memahami keyakinan-keyakinan Isyraqi. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum
Islam, yakni aliran Pythagoras (580 – 500 SM), Platonisme dan Hermenisme. Keempat,
pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-Kuno. Di sini Suhrawardi mencoba
membangkitkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan memandang para pemikir
Iran-Kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana
taufan yang menimpa kaum Nabi Idris (Hermes). Kelima,
Dengan demikian, pemikiran Isyraqi
Suhrawardi bersandar sumber-sumber yang beragam dan berbeda-beda, tidak hanya
Islam tetapi juga non-Islam, meski secara garis besar bias dikelompokkan dalam
dua bagian: pemikiran filsafat dan sufisme. Hal itu bukan berarti Suhrawardi
melakukan pembersihan terhadap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Ia justru
mengklaim dirinya sebagai pemadu (pemersatu) antara apa yang disebut hikmah
Iaduniyah (genius) dan hikmah al-atiqah (antic). Menurutnya, hikmah
yang total dan universal adalah hikmah (pemikiran) yang jelas tampak dalam
berbagai ragam orang Hindu kuno, Persia kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani
sampai masa Aristoteles.[5]
3. Pemikiran
Suhrawardi terhadap Filasat Illuminasi
Hikmah
suhrawardi terkenal dengan nama hikmah isyraqiyah, serta dinisbatkan
pada isyraq, yang bermakna iluminasi (kasyf).menurutnya hikmah ini
dikenal pula sebagai hikmah masyriqiyah (kebijakan Timur), sebagaimana
yang disebut-sebut Ibnu Sina, yang dinisbatkan kepada para penduduk kawasan
Timur, yaitu orang-orang Persia. Dapun hikmah mereka tersebut didasarkan pada
iluminasi, yaitu terbitnya cahaya rasional, kecermelangannya, dan kelimpahannya
pada jiwa.
Inti utama filsafat illuminasi Suhrawardi adalah sifat dan penyebaran
cahaya. Cahaya menurutnya bersifat immaterial dan tak dapat didefinisikan.
Cahaya seperti entitas yang paling terang di dunia ini tidak membutuhkan
definisi juga.
Adapun mengenai gradasi essensi, menurut Suhrawardi, apa yang disebut
eksistensi hanyalah formulasi abstrak, yang diperoleh pikiran dari substansi
eksternal. Eksistensilah yang aksiden dan essensilah yang prinsipal.[6] Realitas yang sesungguhnya
atau benar-benar ada hanyalah essensi-essensi yang tidak lain merupakan
bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini adalah sesuatu yang nyata dengan
dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak dikenali. Sebab
itu ia tidak membutuhkan definisi. Sebagai realitas yang meliputi segala
sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik
maupun nonfisik, sebagai sebuah komponen yang esensial dari cahaya.
Namun demikian, menurut Suhrawardi masing-masing cahaya tersebut berbeda
tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan
Cahaya Segala Cahaya yang merupakan sumber segala cahaya. semakin dekat dekat
dengan dengan Nur al- Anwar yang merupakan cahaya yang paling sempurna, berarti
semakin sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya. Begitu pula yang
terjadi pada wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini berkaitan
dengan tingkat kesempurnaan wujud. Dengan demikian, realitas ini tersusun atas
gradasi essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya, mulai dari yang
paling lemah sampai yang paling kuat.
Agar realitas cahaya yang beragam tingkat intensitas penampakan tersebut
keluar dari cahaya segala cahaya yang esa yang kuat kebenderangannya, menurut
Husein Ziai proses itu pada dasarnya tidak berbeda dengan teori emanasi pada
umumnya, yaitu: (1) gerak “menurun” yang mesti dari yang “tinggi” ke yang
“lebih rendah” yaitu emanasi diri Cahaya Segala Cahaya. (2) Pengeluaran
penciptaan: dunia tidak diciptakan atau dijadikan dari tiada apakah dalam massa
tertentu atau tidak sekaligus, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’
Tuhan. (3) Keabadian dunia. (4) Hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi
dengan wujud yang lebih rendah.
Namun
gagasan emanasi Suhrawardi disini tidak hanya mengikuti teori yang dikembangkan
kaum Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses. Proses pertama
adalah emanasi cahaya pertama juga disebut cahaya terdekat (al-nur al-aqrab)
dari Cahaya Segala Cahaya. Cahaya pertama benar-benar diperoleh (yahshul).
Perbedaan antara cahaya ini dan Cahaya Segala Cahaya hanya dalam tingkat
intensitas (syaddah) mereka yang realitif, yang menjadi ukuran
kesempurnaan. sedang Cahaya Segala Cahaya sebagai cahaya yang benar-benar
mentubi (intens). Cahay pertama bercirikan, a. ada sebagai cahaya
abstrak. b. mempunyai gerak ganda, ia “mencintai” (yuhibbuh) serta melihat
(yusyahidu) Cahaya Segala Cahaya yang ada di atasnya, dan mengendalikan
(yaqharu) dan menyinari (asyraqah) apa yang ada dibawahnya. c.
mempunyai sandaran dan sandaran ini mengimplikasikan sesuatu seperti “zat” yang
disebut barzah yang mempunyai “kondisi” (hay’ah), zat dan kondisi
ini sama-sama berperan sebagai wadah bagi cahaya. d. Cahaya pertama mempunyai
sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat yakni ‘kaya’ (ghani) dalam
hubungannya dengan cahaya yang lebih rendah dan ‘miskin’ (fakir) dalam
hubungannya dengan Cahaya Segala Cahaya. Ketika cahaya pertama melihat Nur
al-Anwar dengan berlandaskan cinta dan kesamaan, cahaya abstrak lain diperoleh
dari cahaya pertama. Ketika cahaya pertama melihat kemiskinannya, “zat” dan
“kondisi”nya sendiri dapat diperoleh.
Kedua,
proses ganda illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama
diperoleh, ia mempunyai visi langsung terhadap Cahaya Segala Cahaya tanpa
durasi, “momen” tersendiri, tempat Cahaya Segala Cahaya seketika itu juga
menyinarinya sehingga “menyalakan” cahaya kedua dan zat serta kondisi yang
dihubungkan dengan cahaya pertama.[7] Cahaya kedua ini, pada
prosesnya, menerima tiga cahaya, dari Cahaya Segala Cahaya secara langsung,
dari cahaya pertama dan dari Cahaya Segala Cahaya yang tembus lewat cahaya pertama. Selanjutnya, mengenai epistemologi
illuminasi. Epistemologi illuminasi meliputi proses intuisi dan
illuminasi-visi.
· Intuisi
Suhrawardi menganggap tindakan intuisi terpenting
adalah kemampuan subjek memahami banyak hal yang nampak dalam waktu singkat
tanpa guru. Intuisi bergerak menangkap istilah pertengahan silogisme, yang
menyerupai penangkapan langsung definisi esensialis, yaitu esensi sesuatu.
· Illuminasi-visi
proses ganda visi illuminasi belaku pada semua
tingkat realitas. Brawal pada tingkat manusia dalam persepsi indra luar,
seperti penglihatan. Mata atau subjek yang melihat, mampu melihat yakni melihat
objek, ketika objek itu sendiri disinari oleh matahari di langit. Pada tingkat
kosmik, setiap “cahaya abstrak melihat cahaya-cahaya yang derajatnya berada
diatasnya, sedang cahaya-cahaya yang lebih tinggi secara terus menerus, pada
saat visi, menyinarisegala sesuatu. Akibatnya, pengetahuan diperoleh melalui
sepasang aktivitas: visi-illuminasi, dan daya pendorong yang mendasari prinsip
ini adalah kesadaran diri.[8] Menurut
Suhrawardi kesadaran diri adalah sama dengan pengetahuan langsung tentang
dirinya sendiri. Ini adalah kebenaran semua wujud yang menyadari essensi mereka
sendiri. Kesadaran diri tersebut tidak dilahirkan oleh ide tentang kesadaran melainkan
oleh kesadaran itu sendiri.
Dari prinsip ini Suhrawardi kemudian menarik
kesimpulan bahwa kesadaran diri sama dengan menifestasi wujud atau sesuatu yang
tampak yang diidentifikasikan dengan cahaya murni. Karena itu keadaran diri
diidentifikasikan dengan “penampakan” dan “cahaya saperti apa adanya”. Dari
sini kemudian dinyatakan bahwa setiap oarng yang memahami essensinya sendiri
adalah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah manifestasi dari essensinya
sendiri.
4. Metode
Mendapatkan Pengetahuan Isyraqi
Pengetahuan
isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa swaobjektivitas yang
melibatkan kesadaran, maka cara perolehannya menurut Suhrawardi harus melalui
tahap-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima
pengetahuan iluminatif dimulai dengan kegiatan mengasingkan diri selama empat
puluh, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur ilahiah dan
seterusnya, yang hampir sama dengan kegiatan asketik dan sufistik. hanya saja
disni tidak ada konsep ahwal dan maqomat. Melalui aktivitas seperti ini dengan
kekuatan intuitif yang ada pada dirinya yang disebut dengan ‘cahaya Tuhan’
(al-bariq al ilahi) seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan
mengakui kebenaran intuitifmya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyahadah
wa mukasyafah) oleh karena itu hal ini terdiri dari (1) aktivitas tertentu. (2)
kemampuan menyadari intuisinya sendiri sampai mendapatkan
cahayailahiah.(3)ilham
Kedua, yaitu tahap penerimaan dimana cahaya Tuhan memasuki wujud manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwar al-sanihah) dimana melalui cahaya penyingkap tersebut, pengetauhan yang berfungsi sebagai pengetahuan yang sebenarnya dapat diperoleh. Ketiga adalah mengkontruksi pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisis diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan dalam posterior analytics Aristoteles. Sehingga dari situ bisa dibentuik suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalaman itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama dapat diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan indrawi, jika berkaitan denganpengetauan iluminatif. Tahap keempat adalah pendokumentasian dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.[9]
Kedua, yaitu tahap penerimaan dimana cahaya Tuhan memasuki wujud manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwar al-sanihah) dimana melalui cahaya penyingkap tersebut, pengetauhan yang berfungsi sebagai pengetahuan yang sebenarnya dapat diperoleh. Ketiga adalah mengkontruksi pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisis diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan dalam posterior analytics Aristoteles. Sehingga dari situ bisa dibentuik suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalaman itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama dapat diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan indrawi, jika berkaitan denganpengetauan iluminatif. Tahap keempat adalah pendokumentasian dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.[9]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Usaha
Suhrawardi menyatukan berbagai aliran pemikiran, khususnya nalar diskursif
dengan intuitif intelektual, ternyata memberikan arah baru bagi perkembangan
filsafat Islam. Pemikiran Suhrawardi tentang illuminasi dimana prosesnya terus
berjalan tanpa henti, memberikan pemahaman bahwa realitas yang ada sangat luas,
terbentang tanpa batas. Satu-satunya yang membatasi hanyalah kegelapan, suatu
wilayah yang tidak atau belum terjangkau oleh cahaya. disisi lain konsepnya
bahwa realita cahaya yang merupakan hakikat wujud adalah satu meski
berbeda-beda tingkat intensitas penampakannya.
Pengetahuan
isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif saja, melainkan juga
kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif,
dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yamg tidak tergapai
oleh kekuatan rasio sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan
terpercaya..
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami
menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin
DAFTAR
PUSTAKA
Khudori
Soleh. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Ahmad
Musthofa. 1997. Filsafat Islam. Pustaka Setia: Bandung
Mulla
Sadra. 2001. Kearifan Puncak. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Hosseini
Ziai. 1998. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi. Zaman Wacana Mulia: Bandung
[1] Khudori
Soleh. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
hlm. 116
[2] Ibid
[3] Ahmad
Musthofa. 1997. Filsafat Islam. Pustaka Setia: Bandung. hlm. 247
[4] Ibid,
hlm 248
[5] Khudori
Soleh. Op. Cit., hlm. 120-122
[6] Mulla
Sadra. 2001. Kearifan Puncak. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 16
[7] Hosseini
Ziai. 1998. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi. Zaman Wacana Mulia: Bandung,
hlm. 147-150
[8] Ibid.
hlm. 143-144
[9] Khudori
Soleh. Op. Cit., hlm. 130-132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar