Sabtu, 18 April 2015

Filsafat Illuminasi

FILSAFAT ILLUMINASI


Makalah
Makalah ini disusun guna memenuhui tugas
 Mata Kuliah: Filsafat Islam
 Dosen Pengampu: Fathul Mufid, M. Si







              


Disusun Oleh:

Fina Roihah Almiskiyyah    : 111087
Sari Ulya Ningsih                 : 111106
Aziz Nor Fakhruddin           : 111 101


 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH/PAI
2012
A.    Pendahuluan
Suhrawardi Al-Maqtul merupakan salah seorang tokoh filsafat islam dan beliau juga merupakan generasi pertama para sufi filosof. Suhrawardi terkenal dengan filsafat illuminasinya.
Pemikiran isyraqiyah (illuminatif) secara ontologis maupun epistemologis, lahir sebagai alternative atas kelemahan-kelemahan yang ada pada filsafat sebelumnya, khususnya paripatetik Aristotelian. Menurut Suhrawardi, filsafat paripatetik yang sampai saat itu dianggap paling unggul, ternyata mengandung bermacam kekurangan. Secara epistemologis, ia tidak bisa menggapai seluruh realitas. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, bahkan silogisme rasional sendiri, pada saat tertentu, tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.
Sementara dari sisi ontologis, Suhrawardi tidak bisa menerima konsep paripatetik, antara lain dalam soal eksistensi-essensi. Baginya yang fundamental dari realitas adalah essensi, bukan eksistensi seperti diklaim kaum paripatetik. Essensilah yang primer sedangkan eksistensi hanya sekunder, merupakan sifat dan hanya ada dalam pikiran.[1]
Berdasarkan uraian diatas, pemakalah akan memaparkan filsafat illuminasi Suhrawardi.

B.     Rumusan Masalah
      Berdasarkan pendahuluan diatas, maka diperoleh beberapa masalah yaitu:
1.      Bagaimana biografi Suhrawardi?
2.      Apa pengertian dari illuminasi? dan apa saja sumber-sumber illuminasi?
3.      Bagaimana pemikiran Suhrawardi terhadap filsafat illuminasi?
4.      Bagaimankah metode mendapatkan pengetahuan isyraqi?



C.    Pembahasan
1.      Biografi Suhrawardi
Nama lengkap Suhrawardi adalah syihab al-din yahya ibn habasy ibn amira.[2] Ia dilahirkan di Suhrawad sekitar tahun 550H dan meninggal dunia karena dibunuh pada tahun 578H di Halb (Aleppo). Karena itulah ia digelari Al-Maqtul (yang dibunuh), sebagai pembedaan dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (meninggal tahun 563H) dan Abu hatah Syihabudin Al-Suhrawardi Al-Baghdadi (meninggal tahun 632H), penyusun kitab Awarif ‘Alal-Ma`arif.[3]
Al-Suhrawardi memulai pendidikannya di Maraghah dibawah bimbingan Majdud Al-Din Al-Jilli, dalam bidang Fikih dan Teologi. Selanjutnya pergi ke Isfahan untuk lebih mendalami studinya pada Zahir Al-Din Qari dan Fakrud Al-Din Al-Mardini (wafat tahun 1198M) dimana ia diduga sebagai guru Suharawardi yang paling penting selain itu, ia juga belajar logika pada Zahir Al-Farisi, yang mengajarkan Al-Bashair Al-Nashiriyah, kitab karya Umar ibn Sahlan Al-Sawi (wafat 1183M), ahli logika terkenal sekaligus salah satu pemikir illuminasionis awal dalam Islam.
Setelah itu, Suhrawardi pergi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Selanjuutnya ia pergi ke Aleppo, berguru pada Syafir Iftikhar Al-Din, dan di kota ini Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para Faqih menjadi iri dan mengecamnya. Akibatnya ia dipanggil pangeran Malik al-Zahir, penguasa Aleppo, putra Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi, untuk dipertemukan dengan para Fuqoha dan Teolog. Namun dalam perdebatan ini Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat yang ini justru membuatnya dekat dengan Pangeran Zahir dan pendapat-pendapatnya disambut secara baik.
Tetapi orang-orang yang dengki terhadapnya melaporkan kepada Shalahudin Al-Ayyubi yang memperingatkan bahaya akan tersesatnya aqidah Zahir jika bersahabat dengan Suhrawardi Shalahudin yang terpengaruh dengan laporan tersebut, kemudian memerintahkan Zahir untuk segera membunuuh Suhrawardi. akhirnya Suhrawardi di hokum mati tahubn 1191H, di Halb dalam usia 38 tahun.
Suhrawardi telah menguasai pengetahuan Filsafat dan Tasawuf begitu mendalam, serta mampu menguraikannya secara baik. Bahkan dalam kitab Thabaqat al-atibba` menyebut Suhrawardi sebagai tokoh zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat dan memahami Usul Fiqih begitu cerdas dan begitu fasih ungkapannya.[4]
Al-Suhrawardi telah meninggalkan sejumlah karya dan risalah antara lain adalah Hikmah Al-Isyraq, Al Talwihat, Hayakil Al-Nur, Al Muqawimat, Al Muthoribat al Awah al-Aimadiyyah dan sebagian doa-doa.

2.      Pengertian Iluminasi dan sumber-sumber illuminasi
Illuminasi dalam bahasa Inggris adalah illuminiation yang dijadikan padanan kata Isyraq yang berarti cahaya atau penerangan. Tegasnya illuminasi (Isyraqi) berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Dalam bahasa filsafat, iluminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama. Karena itu menurut kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan subsatansi cahaya.
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingakat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyraqiah.
Selanjutnya, sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran Isyraqi Suhrawardi, menurut SH. Nasr terdiri atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran Sufisme, khususnya karya-karya al Hallaj (858 – 913 M) dan al Ghazali (1058 – 1111 M). Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur (cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran illuminasi Suhrawardi. Kedua, pemikiran filsafat paripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Sebagai asas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan Isyraqi. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam, yakni aliran Pythagoras (580 – 500 SM), Platonisme dan Hermenisme. Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-Kuno. Di sini Suhrawardi mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan memandang para pemikir Iran-Kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum Nabi Idris (Hermes). Kelima,
 Dengan demikian, pemikiran Isyraqi Suhrawardi bersandar sumber-sumber yang beragam dan berbeda-beda, tidak hanya Islam tetapi juga non-Islam, meski secara garis besar bias dikelompokkan dalam dua bagian: pemikiran filsafat dan sufisme. Hal itu bukan berarti Suhrawardi melakukan pembersihan terhadap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Ia justru mengklaim dirinya sebagai pemadu (pemersatu) antara apa yang disebut hikmah Iaduniyah (genius) dan hikmah al-atiqah (antic). Menurutnya, hikmah yang total dan universal adalah hikmah (pemikiran) yang jelas tampak dalam berbagai ragam orang Hindu kuno, Persia kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.[5]

3.      Pemikiran Suhrawardi terhadap Filasat Illuminasi
Hikmah suhrawardi terkenal dengan nama hikmah isyraqiyah, serta dinisbatkan pada isyraq, yang bermakna iluminasi (kasyf).menurutnya hikmah ini dikenal pula sebagai hikmah masyriqiyah (kebijakan Timur), sebagaimana yang disebut-sebut Ibnu Sina, yang dinisbatkan kepada para penduduk kawasan Timur, yaitu orang-orang Persia. Dapun hikmah mereka tersebut didasarkan pada iluminasi, yaitu terbitnya cahaya rasional, kecermelangannya, dan kelimpahannya pada jiwa.
Inti utama filsafat illuminasi Suhrawardi adalah sifat dan penyebaran cahaya. Cahaya menurutnya bersifat immaterial dan tak dapat didefinisikan. Cahaya seperti entitas yang paling terang di dunia ini tidak membutuhkan definisi juga.
Adapun mengenai gradasi essensi, menurut Suhrawardi, apa yang disebut eksistensi hanyalah formulasi abstrak, yang diperoleh pikiran dari substansi eksternal. Eksistensilah yang aksiden dan essensilah yang prinsipal.[6] Realitas yang sesungguhnya atau benar-benar ada hanyalah essensi-essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini adalah sesuatu yang nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak dikenali. Sebab itu ia tidak membutuhkan definisi. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun nonfisik, sebagai sebuah komponen yang esensial dari cahaya.
Namun demikian, menurut Suhrawardi masing-masing cahaya tersebut berbeda tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan Cahaya Segala Cahaya yang merupakan sumber segala cahaya. semakin dekat dekat dengan dengan Nur al- Anwar yang merupakan cahaya yang paling sempurna, berarti semakin sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya. Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini berkaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud. Dengan demikian, realitas ini tersusun atas gradasi essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya, mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat.
Agar realitas cahaya yang beragam tingkat intensitas penampakan tersebut keluar dari cahaya segala cahaya yang esa yang kuat kebenderangannya, menurut Husein Ziai proses itu pada dasarnya tidak berbeda dengan teori emanasi pada umumnya, yaitu: (1) gerak “menurun” yang mesti dari yang “tinggi” ke yang “lebih rendah” yaitu emanasi diri Cahaya Segala Cahaya. (2) Pengeluaran penciptaan: dunia tidak diciptakan atau dijadikan dari tiada apakah dalam massa tertentu atau tidak sekaligus, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan. (3) Keabadian dunia. (4) Hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah.
Namun gagasan emanasi Suhrawardi disini tidak hanya mengikuti teori yang dikembangkan kaum Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses. Proses pertama adalah emanasi cahaya pertama juga disebut cahaya terdekat (al-nur al-aqrab) dari Cahaya Segala Cahaya. Cahaya pertama benar-benar diperoleh (yahshul). Perbedaan antara cahaya ini dan Cahaya Segala Cahaya hanya dalam tingkat intensitas (syaddah) mereka yang realitif, yang menjadi ukuran kesempurnaan. sedang Cahaya Segala Cahaya sebagai cahaya yang benar-benar mentubi (intens). Cahay pertama bercirikan, a. ada sebagai cahaya abstrak. b. mempunyai gerak ganda, ia “mencintai” (yuhibbuh) serta melihat (yusyahidu) Cahaya Segala Cahaya yang ada di atasnya, dan mengendalikan (yaqharu) dan menyinari (asyraqah) apa yang ada dibawahnya. c. mempunyai sandaran dan sandaran ini mengimplikasikan sesuatu seperti “zat” yang disebut barzah yang mempunyai “kondisi” (hay’ah), zat dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai wadah bagi cahaya. d. Cahaya pertama mempunyai sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat yakni ‘kaya’ (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya yang lebih rendah dan ‘miskin’ (fakir) dalam hubungannya dengan Cahaya Segala Cahaya. Ketika cahaya pertama melihat Nur al-Anwar dengan berlandaskan cinta dan kesamaan, cahaya abstrak lain diperoleh dari cahaya pertama. Ketika cahaya pertama melihat kemiskinannya, “zat” dan “kondisi”nya sendiri dapat diperoleh.
Kedua, proses ganda illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama diperoleh, ia mempunyai visi langsung terhadap Cahaya Segala Cahaya tanpa durasi, “momen” tersendiri, tempat Cahaya Segala Cahaya seketika itu juga menyinarinya sehingga “menyalakan” cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungkan dengan cahaya pertama.[7] Cahaya kedua ini, pada prosesnya, menerima tiga cahaya, dari Cahaya Segala Cahaya secara langsung, dari cahaya pertama dan dari Cahaya Segala Cahaya yang tembus lewat cahaya pertama.   Selanjutnya, mengenai epistemologi illuminasi. Epistemologi illuminasi meliputi proses intuisi dan illuminasi-visi.
·      Intuisi
Suhrawardi menganggap tindakan intuisi terpenting adalah kemampuan subjek memahami banyak hal yang nampak dalam waktu singkat tanpa guru. Intuisi bergerak menangkap istilah pertengahan silogisme, yang menyerupai penangkapan langsung definisi esensialis, yaitu esensi sesuatu.
·      Illuminasi-visi
proses ganda visi illuminasi belaku pada semua tingkat realitas. Brawal pada tingkat manusia dalam persepsi indra luar, seperti penglihatan. Mata atau subjek yang melihat, mampu melihat yakni melihat objek, ketika objek itu sendiri disinari oleh matahari di langit. Pada tingkat kosmik, setiap “cahaya abstrak melihat cahaya-cahaya yang derajatnya berada diatasnya, sedang cahaya-cahaya yang lebih tinggi secara terus menerus, pada saat visi, menyinarisegala sesuatu. Akibatnya, pengetahuan diperoleh melalui sepasang aktivitas: visi-illuminasi, dan daya pendorong yang mendasari prinsip ini adalah kesadaran diri.[8] Menurut Suhrawardi kesadaran diri adalah sama dengan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri. Ini adalah kebenaran semua wujud yang menyadari essensi mereka sendiri. Kesadaran diri tersebut tidak dilahirkan oleh ide tentang kesadaran melainkan oleh kesadaran itu sendiri.
Dari prinsip ini Suhrawardi kemudian menarik kesimpulan bahwa kesadaran diri sama dengan menifestasi wujud atau sesuatu yang tampak yang diidentifikasikan dengan cahaya murni. Karena itu keadaran diri diidentifikasikan dengan “penampakan” dan “cahaya saperti apa adanya”. Dari sini kemudian dinyatakan bahwa setiap oarng yang memahami essensinya sendiri adalah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah manifestasi dari essensinya sendiri.
4.      Metode Mendapatkan Pengetahuan Isyraqi
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa swaobjektivitas yang melibatkan kesadaran, maka cara perolehannya menurut Suhrawardi harus melalui tahap-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif dimulai dengan kegiatan mengasingkan diri selama empat puluh, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur ilahiah dan seterusnya, yang hampir sama dengan kegiatan asketik dan sufistik. hanya saja disni tidak ada konsep ahwal dan maqomat. Melalui aktivitas seperti ini dengan kekuatan intuitif yang ada pada dirinya yang disebut dengan ‘cahaya Tuhan’ (al-bariq al ilahi) seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuitifmya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyahadah wa mukasyafah) oleh karena itu hal ini terdiri dari (1) aktivitas tertentu. (2) kemampuan menyadari intuisinya sendiri sampai mendapatkan cahayailahiah.(3)ilham
       Kedua, yaitu tahap penerimaan dimana cahaya Tuhan memasuki wujud manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwar al-sanihah) dimana melalui cahaya penyingkap tersebut, pengetauhan yang berfungsi sebagai pengetahuan yang sebenarnya dapat diperoleh. Ketiga adalah mengkontruksi pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisis diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan dalam posterior analytics Aristoteles. Sehingga dari situ bisa dibentuik suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalaman itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama dapat diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan indrawi, jika berkaitan denganpengetauan iluminatif. Tahap keempat adalah pendokumentasian dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.[9]



PENUTUP
A.    Kesimpulan
Usaha Suhrawardi menyatukan berbagai aliran pemikiran, khususnya nalar diskursif dengan intuitif intelektual, ternyata memberikan arah baru bagi perkembangan filsafat Islam. Pemikiran Suhrawardi tentang illuminasi dimana prosesnya terus berjalan tanpa henti, memberikan pemahaman bahwa realitas yang ada sangat luas, terbentang tanpa batas. Satu-satunya yang membatasi hanyalah kegelapan, suatu wilayah yang tidak atau belum terjangkau oleh cahaya. disisi lain konsepnya bahwa realita cahaya yang merupakan hakikat wujud adalah satu meski berbeda-beda tingkat intensitas penampakannya.
Pengetahuan isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif saja, melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yamg tidak tergapai oleh kekuatan rasio sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya..

B.     Saran
 Demikianlah makalah ini kami susun, kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin 











DAFTAR PUSTAKA

Khudori Soleh. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Ahmad Musthofa. 1997. Filsafat Islam. Pustaka Setia: Bandung
Mulla Sadra. 2001. Kearifan Puncak. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Hosseini Ziai. 1998. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi. Zaman Wacana Mulia: Bandung





[1] Khudori Soleh. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 116
[2] Ibid
[3] Ahmad Musthofa. 1997. Filsafat Islam. Pustaka Setia: Bandung. hlm. 247
[4] Ibid, hlm 248
[5] Khudori Soleh. Op. Cit., hlm. 120-122
[6] Mulla Sadra. 2001. Kearifan Puncak. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 16
[7] Hosseini Ziai. 1998. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi. Zaman Wacana Mulia: Bandung, hlm. 147-150
[8] Ibid. hlm. 143-144
[9] Khudori Soleh. Op. Cit., hlm.  130-132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar