Sabtu, 18 April 2015

MUNASABAH, MACAM-MACAMNYA, DAN URGENSINYA DI DALAM MEMAHAMI AL-QUR’AN


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu: Istianah, MA
logo STAIN htm





Disusun oleh:
1.          Ummu Bashiroh          (111088)
2.          Sari Ulya Ningsih       (111106)
3.          Rhomlatul Nihayah   (111107)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2012
MUNASABAH, MACAM-MACAMNYA DAN URGENSINYA DALAM MEMAHAMI AL-QUR’AN
A.      PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan samudera ilmu yang sangat luas. Darinya dapat menjawab berbagai problema kehidupan, dari sejak diturunkannya, sekarang, dan yang akan datang. Akan tetapi, sudah barang tentu untuk dapat menemukan satu ikan dalam keluasan samudera bukanlah hal yang mudah, begitu juga di dalam mencari jawaban dalam al-Qur’an. Sehingga di dalam memahami Al-Qur’an diperlukanlah penafsiran.
Salah satu syarat di dalam penafsiran sekaligus menjadi bagian dari ulumul Qur’an adalah munasabah. Dengan mengetahui munasabah, akan membantu di dalam penginterpretasian sekaligus pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur’an.
Berdasarkan ilustrasi di atas, kami akan menjelaskan lebih rinci tentang munasabah dan hal-hal yang berkaitan, seperti macam-macam dan urgensinya di dalam memahami al-Qur’an dalam makalah ini.
B.       PERMASALAHAN
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka akan menyisakan permasalahan-permasalahan berikut ini:
1.      Apa pengertian munasabah?
2.      Apa saja macam-macam dari munasabah?
3.      Apa urgensi munasabah dalam memahami Al-Qur’an?
C.      PEMBAHASAN
1.      Pengertian Munasabah
Munasabah berasal dari kata ناَسَبَ، يُنَاسِبُ، مُنَاسَبَةً yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat.[1] Kesamaan kata munasabah dapat mengacu pada tiga kata kunci yaitu: al-muqarabat (berdekatan), al-musyakalat (berkemiripan), al-irtibat (bertalian).[2] Secara istilah, munasabah berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an.[3] Lebih rincinya dapat dijelaskan bahwa munasabah adalah usaha pemikiran dalam menggali rahasia hubungan antara ayat atau surat dalam al-Qur’an ang dapat diterima oleh akal.[4]
Menurut al-Suyuthi, al-munasabat menyangkut ayat-ayat al-Qur’an, dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1)      Dari segi makna seperti makna ‘am dan khash atau ‘aqli, hissi, atau khayali.
2)      Dari segi kepastian ada hubungan dalam pemikiran seperti sebab dan akibat (kausalitas), ‘illat dan ma’lul atau dua hal yang serupa dan dua hal yang berlawanan.[5]
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa munasabah termasuk kajian yang bersifat ijtihadi. Karena sifatnya ijtihadi, maka timbul:
1)      Hubungan logis yang dapat diterima
2)      Hubungan logis bagi masing-masing ahli.
Akhirnya, timbul dua aliran yang berpendapat bahwa:
1)      Semua ayat/surat memiliki hubungan
2)      Tidak semua ayat/surat memiliki hubungan.[6]
2.      Macam-macam Munasabah
A.    Munasabah antar ayat
1.      Hubungan kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, dapat dilihat dari dua segi yakni:
§      Munasabah yang secara jelas dapat dilihat dan dikuatkan dengan huruf athf (kata penghubung).[7]
Adapun ayat-ayat yang ma’thufah dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut:
- المُضَادَة (perlawanan/bertolak belakang antara suatu kata dengan kata lain).
Misalnya kata الرَّحْمَةُ disebut setelah العَذ1َابُ; kata الرَّغْبَةُ sesudah الرَّهْبَةُ; menyebut janji dan ancaman sesudah menyebut hukum-hukum. Hubungan seperti ini banyak terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa’, dan Al-Maidah.
- الإِِِسْتِطْرَاد (pindah ke kata lain yang ada hubungannya atau penjelasan lebih lanjut).[8]
Seperti hubungan antara pakaian takwa dengan pakaian biasa dalam menutupi aurat manusia, sebagaimana disebut dalam surat al-A’raf ayat 26:
ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqムöNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)­G9$# y7Ï9ºsŒ ׎öyz 4 [9]
- التَّخَلُّصُ (melepaskan kata satu ke kata lain, tetapi masih berkaitan).
Misalnya, ayat 35 surat An-Nur (24):
ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ....
Ada lima at-takhallushat, yaitu:
·         Menyebut النُّوْر dengan perumpamaannya, lalu ditakhallushkan ke الزُّجَاجَةُ dengan menyebut sifatnya.
·         Kemudian menyebut النُّوْر dan الزَّيْتُونَة yang meminta bantu darinya, lalu ditkhallush dengan menyebut الشَّجَرَة.
·         Dari الشَّجَرَة ditakhallush dengan menyebut sifat zaitun.
·         Lalu ditakhallush dari menyebut sifat الزَّيْتُونَة ke sifat النُّوْر
·         Kemudian dari النُّوْر ditakhallush ke nikmat Allah berupa hidayah bai orang yang Allah kehendaki.
- Tamstsil dari keadaan
Seperti tamtsil yang disodorkan dalam surat Al-Isra’ (17) ayat 1 dengan 2 dan 3.Peristiwa Isra’ Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Palestina sebanding dengan Isra’ Nabi Musa as dari Mesir ke Palestina. Ayat itu dihubungkan dengan ayat 3 yang berisi kisah Nuh: bahwa keturunannya wajib meniru Nuh a.s. sebagai hamba yang bersyukur. Ayat tersebut dihubungkan lagi dengan ayat 8-9 yang menyebutkan barang siapa berbuat baik atau jahat akan mendapatkan balasan sesuai janji Allah.[10]

§      Munasabah dari dua kalimat dalam satu ayat tanpa huruf athf.[11]
        Ada tiga bentuk hubungan yang menandai adanya hubungan ayat dengan ayat atau hubungan kalimat dengan kalimat.
a.       التَّنْظِيْر (berhampiran/berserupaan)
Misalnya ayat 4 dan 5 surat Al-Anfal (8):
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_uyŠ yYÏã óOÎgÎn/u  ...
!$yJx. y7y_t÷zr& y7/u .`ÏB y7ÏG÷t/ Èd,ysø9$$Î/  ....
Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang telah kalian lakukan ketika perang Badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. Allah menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad SAW mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya rosul dari kalangan mereka (surat Al-Baqarah: 151) كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ, sebagaimana juga kaummu membencimu (rosul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad.
b.      الإسْقِطْرَاد (pindah ke perkataan lain yang erat kaitannya)
Misalnya surat Al-A’raf ayat 26.

c.       المُضَادَةُ (perlawanan)
Misalnya surat Al-Baqarah:6 yang berisi memberi petrunjuk kepada orang kafir, berlawanan dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin, dan petunjuk.
2.      Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat[12]
Misalnya kata مُتَّقِيْن di dalam surat Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang bertakwa.[13]
3.      Hubungan penutup ayat dengan kandungan (isi) ayatnya.
Munasabah dalam bentuk ini diturunkan dalam berbagi pola:
o   Tamkin (memperkokoh), artinya dengan fashilat satu ayat maka makna yang terkandung di dalamnya menjadi lebih kokoh dan mantap seperti kata قَوِيًّا عَزِيْزًا (Maha Kuat dan Perkasa) dalam menutup ayat 25 dari surat al-Ahzab
4 ) s"x.ur ª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# tA$tFÉ)ø9$# 4 šc%x.ur ª!$# $ƒÈqs% #YƒÍtã  ( 

o   Ighal (penyesuaian dengan fashilat ayat sebelumnya)
Sepertiمُدْبِرِيْنَ   أِذَا وَلَّوْ (apabila mereka berpaling membelakang) fashilat ayat 80 dari an-Naml
Ÿwur ßìÏJó¡è@ §MÁ9$# uä!%tæ$!$# #sŒÎ) (#öq©9ur tûï̍Î/ôãB  
o   Tashdir: menyebut lafal fashilat dalam celah-celah redaksi ayat yang ditempati oleh fashilat itu baik di awal, di tengah, maupun di akhirnya. Seperti ayat:  رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوِا وَاللّهُ يُحِبُّ الِمُتَطَهَِّرِيْنَfashilat الِمُتَطَهَِّرِيْنَ serasi dengan lafal يَتَطَهَّرُوِا yang terletak di akhir redaksi ayat itu.
o   Makna yang terkandung dalam fashilat telah diisyaratkan dalam redaksi ayat yang ditempati fashilat itu (tausikh). Seperti dalam ayat 37 dari surat Yasin
×ptƒ#uäur  ãNßg©9 ã@ø©9$# ãn=ó¡nS çm÷ZÏB u$pk¨]9$# #sŒÎ*sù Nèd tbqßJÎ=ôàB   [14]
B.     Munasabah antar surat
1)        Hubungan awalan uraian dengan akhir uraian surat[15]
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$#
  
Kemudian di bagian akhir surat ini ditemukan kalimat:
4 ¼çm¯RÎ) Ÿw ßxÎ=øÿムtbrãÏÿ»s3ø9$#  [16]
2)        Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya. Terbagi menjadi dua macam:
a.       Hubungan yang diketahui berdasarkan riwayat. Contoh kata “Al-Baqarah” diambil dari kata yang terdapat dalam ayat 67 sampai 71. Ayat-ayat tersebut memuat kisah Al-Baqarah dalam kaitannya dengan kisah Nabi Musa a.s dan kaumnya.
b.      Hubungan yang diketahui berdasarkan penelaahan pikiran secara logis.
Misalnya ketika membicarakan surat Al-Isra’ diawali dengan kalimat tasbih dan berakhir dengan kalimat tahmid. Kalimat tasbih memang selalu diucapkan lebih dulu daripada kalimat tahmid.
c.       Hubungan surat dengan surat sebelumnya. Hubungan surat satu dengan surat sebelumnya dapat dicari melalui empat cara, yaitu:
Ø  Dilihat melalui huruf (bi hasb huruf). Misalnya, surat-surat yang dimulai dengan حم dan الر tersusun berurutan.
Ø  Karena ada persesuaian antara akhir suatu surat dengan permulaan surat berikutnya. Misalnya, akhir surat Al-Fatihah dengan permulaan surat Al-Baqarah.
Ø  Dapat dilihat melalui الوزن dalam lafadhnya. Misalnya, akhir surat Al-Lahab dengan akhir surat Al-Ikhlas.
Ø  Adanya kemiripan (bahkan sama) dalam bilangan ayat dalam ayat dalam suatu surah dengan surah berikutnya. Misalnya, bilangan surat الضحى dan الم نشرح
d.      Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya. Misalnya hubungan akhir surat Ali Imron (3) dengan permulaan surat An-Nisa’ (4). Surat Ali Imron ditutup dengan perintah bersabar dan bertakwa kepada Allah, sedangkan surat An-Nisa’ diawali oleh perintah takwa kepada Allah juga.[17]
3.      Urgensi Munasabah dalam Memahami Al-Qur’an
Munasabah di dalam memahami Al-Qur’an sangatlah penting, karena dengan dikuasainya ilmu ini maka akan dapat merasakan secara mendalam bahwa Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh dalam untaian kata-kata yang harmonis dengan makna yang kokoh, tepat, dan akurat sehingga sedikitpun tak ada cacat. Selain itu, dengan munasabah dapat memberikan gambaran yang semakin terang bahwa Al-Qur’an itu betul-betul kalam Allah, tidak hanya teksnya, melainkan susunan dan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya pun atas petujuk-Nya.
Tanpa adanya munasabah, seseorang akan kesulitan dalam memahami Al-Qur’an, dan ada kemungkinan keliru dalam memahami dan menafsirkannya seperti kekeliruan Guillaume yang menganggap sistematika susunan Al-Qur’an kacau karena ayat-ayat madaniyat masuk ke kelompok ayat makiyyat da sebaliknya.
Dengan dikuasainya ilmu tanasub, seseorang akna merasakan suatu mukjizat yang luar biasa dalam susunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an. Mengetahui penempatan suatu kata atau kalimat dalam untaian ayat-ayat Al-Qur’an betul-betul sangat tepat dan akurat, baik dari segi susunan dan uslub, maupun makna dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.[18]
Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, MA, manfaat mempelajari munasabah, antara lain:
a)      Menghindari kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebab munculnya kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah karena tidak mengetahui munasabah
b)      Intensifikasi pengertian Al-Qur’an.[19]
Mengingat peran penting munasabah sebagaimana digambarkan di atas, maka masuk akal bila pakar ulama tafsir seperti Ibn al-‘Arabi menyatakan bahwa kajian munasabat adalah suatu ilmu yang besar dan mulia, hanya orang-orang tertentu yang dapat menggalinya. Al-Zarkasyi juga mengakui pentingnya ilmu ini dengan menyatakan secara tegas bahwa munasabat adalah ilmu yang amat mulia yang dapat memelihara dan meluruskan pola pikir serta mengenal kadar kemampuan seseorang dalam berbicara.[20]
D.      SIMPULAN
Dari penjelasa di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa munasabah adalah pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam Al-Qur’an. Secara garis besar, bentuk/macam munasabah terbagi menjadi dua, yaitu munasabah antar ayat dan munasabah antar surat, yang kemudian dikembangkan menjadi 7 macam bentuk munasabah. Sedangkan mengenai urgensinya di dalam memahami A-Qur’an sangat banyak di antaranya adalah dapat menghindari dalam penginterpretasian Al-Qur’an.
E.      Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun. Kritik konstruktif senantiasa kali tunggu demi pembenahan makalah ini agar lebih baik ke depan. Semoga bermanfaat bagi keilmuan kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashiruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Shihab, Quraish, dkk. 1999. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Pustaka Firdaus: Jakarta
Suhadi. 2011. Ulumul Qur’an. Nora Media Enterprise: Kudus
Syafe’I, Rahmat . 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Pustaka Setia: Bandung



[1] Rahmat Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Pustaka Setia: Bandung. hlm. 37
[2] Nashiruddin Baidan. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 185
[3] Quraish Shihab, dkk. 1999. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Pustaka Firdaus: Jakarta. hlm. 75
[4] Suhadi. 2011. Ulumul Qur’an. Nora Media Enterprise: Kudus. hlm. 84
[5] Nashiruddin Baidan, Op. Cit. hlm. 184
[6] Rahmat Syafe’I, Op. Cit. hlm. 36
[7] Nashiruddin Baidan, Op. Cit. hlm. 194
[8] Rahmat Syafe’I, Op. Cit. hlm. 40
[9] Nashiruddin Baidan, Op. Cit. hlm. 195
[10] Rahmat Syafe’I, Op. Cit. hlm. 40-42
[11] Nashiruddin Baidan, Op. Cit. hlm. 194
[12] Rahmat Syafe’I, Op. Cit. hlm. 42-43
[13] Quraish Shihab, dkk. Op. Cit. hlm. 76
[14] Nashiruddin Baidan, Op. Cit. hlm. 196-197
[15] Rahmat Syafe’I, Op. Cit. hlm. 47
[16] Quraish Shihab, dkk. Op. Cit. hlm. 76
[17] Rahmat Syafe’I, Op. Cit. hlm. 49-52
[18] Nashiruddin Baidan, Op. Cit. hlm. 199-200
[19] Rahmat Syafe’I, Op. Cit. hlm. 36
[20] Nashiruddin Baidan, Op. Cit. hlm. 200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar