MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah
: Hadist Tarbawi
Dosen
Pembimbing : Abdul Karim. SS, MAg
![]() |
Disusun
Oleh :
Disusun
oleh :
1.
Edi Maftukin 111104
2. Nailin Ni’mah 111115
3. Halimah 111116
![]() |
|||
![]() |
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
TAHUN
2012
A. Pendahuluan
Ada beberapa
istilah yang harus diterangkan dahulu maksudnya sebelum kita melanjutkan
pembicaraan kita mengenai tajuk kertas ini. Pertama sekali adalah keguruan.
Maksudnya pekerjaan sebagai guru. Jadi ia adalah salah satu kerja (profesion)
sebagaimana halnya dengan kerja-kerja yang lain dalam masyarakat seperti
akuntan, Dokter, konseling, kejuruteraan, perniagaan dan lain-lain sebagainya.
Sebagai sebuah kerja keguruan, ia tunduk kepada pelbagai syarat yang dikenakan
kepada kerja-kerja yang lain seperti kode etika dan sebagainya.
Kedua kode etika adalah aturan-aturan yang
disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan kerja tertentu seperti
akuntan, Dokter, konseling dan sebagainya. Ketiga, nilai-nilai yang menyertai
setiap kerja itu seperti memberi perkhidmatan yang sebaik-baiknya kepada
pelanggan dan sebagainya. Ini semua adalah nilai. Keempat pengamalan, memang
semua kerja mementingkan amalan. Sebab setiap pemegang kerja itu dipanggil
pengamal (practitioner) dalam bidang tertentu seperti akuntan, Dokter,
konseling dan lain-lain. Tetapi sebelum sampai kepada amalan, nilai-nilai kerja
itu harus dihayati (intemalized) lebih dahulu, ini yang membawa kita kepada
aspek terakhir pada makalah, yaitu penghayatan. Kelima penghayatan, yaitu
penghayatan nilai-nilai. Kalau ilmu seperti matematika, pengobatan dan
lain-lain dipelajari, maka nilai-nilai seperti keikhlasan, kejujuran, dedikasi
dan lain-lain itu dihayati. Kalau mau dipertegaskan lagi makalah ini sebenarnya
diharapkan menjawab persoalan bagaimana cara membimbing guru-guru pendidikan
Islam agar menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam etika keguruan itu.
Oleh yang demikian marilah kita membicarakan dahulu di bawah ini apakah etika
keguruan itu.
B. Maksud Mengajar
Mengajar
sebenarnya bermaksud menyampaikan ilmu pengetahuan maklumat, memberi galakan,
membimbing, memberi dan meningkatkan kemahiran, meningkatkan keyakinan, menanam
nilai-nilai murni dan luhur kepada para pelajar yang belum mengetahui. Ia bukan
sekadar menyampaikan maklumat atau bahan pengajaran dalam sebuah kelas. lebih
mendukacitakan lagi jika proses mengajar dianggap sekadar menyampai maklumat
dan menghabiskan sukatan pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Proses mengajar mempunyai konsep yang sangat luas, ia bertujuan untuk
menjadikan seseorang individu itu lebih bertanggungjawab dan mampu menjana
fikirannya untuk terus bahagia dan berjaya mengatasi cabaran yang akan
dihadapai. Ini hanya akan dicapai sekiranya proses pengajaran dan pembelajaran
yang dilakukan mencapai tahap pengajaran berkesan.
C. Siapa itu Guru?
Orang yang mengajar dikenali sebagai guru. Perkataan guru
adalah hasil gabungan dua suku kata iaitu `Gur’ dan `Ru’.
Dalam bahasa
jawa, Gu diambil daripada perkataan gugu bermakna boleh dipercayai manakala Ru
diambil daripada perkataan tiru yang bermaksud boleh diteladani atau dicontohi.
Oleh itu, GURU bermaksud seorang yang boleh ditiru perkataannya, perbuatannya,
tingkah lakunya, pakaiannya, amalannya dan boleh dipercayai bermaksud
keamanahan yang dipertanggungjawabkan kepadanya untuk dilakukan dengan jujur.
D. Peranan dan
Tugas Mengajar
Setiap guru
seharusnya mengetahui peranan dan tugas mereka secara terperinci jika mereka
ingin berusaha melakukan dan menghasilkan pengajaran yang berkesan.
Di antara
tugas seorang guru ialah :
1. menyampaikan ilmu pengetahuan
2. menyampaikan maklumat
3. menyampai dan
4. memberi kemahiran serta
5. memupuk nilai-nilai murni dan luhur sebagaimana yang telah disebutkan di
atas.
Manakala peranan guru pula ialah sebagai pembimbing,
pendidik, pembaharu, contoh dan teladan, pencari dan penyelidik, penasihat dan
kaunselor, pencipta dan pereka, pencerita dan pelakon, penggalak dan
perangsang, pengilham cita-cita, pengurus dan perancang, penilai, pemerhati,
rakan dan kawan pelajar, doktor dan pengubat, penguat kuasa, pemberi petunjuk
orang yang berwibawa dan sebagainya.
Jelas
menunjukkan bahawa menjadi seorang guru merupakan satu tugas dan peranan yang
agak berat. Sebenarnya, jika anda anggap tugas itu berat, maka beratlah ia.
Jika anda terima ia sebagai satu cabaran dengan cara yang positif, maka
mudahlah ia.
E. Pengertian
Profesi
Profesi
berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu
janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas
menjadi: kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang
dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi
berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus
dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Jabatan Guru
Sebagai Suatu Profesi. Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena
menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar, mengelola
kelas, merancang pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat memiliki
nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda dari
pekerjaan lain. Menurut artikel “The Limit of Teaching Proffesion,” profesi
guru termasuk ke dalam profesi khusus selain dokter, penasihat hukum, pastur.
Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanan
manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya menyadari
bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarganya harus hidup akan
tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi
motivasi utamanya, melainkan kesediaannya untuk melayani sesama.
Di lain pihak
profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu
disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi
luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam keadaan darurat dianggap
wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat
profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaan.
F. Dua Prinsip
Etika Profesi Luhur
Tuntutan dasar
etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa
pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan: “Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi
kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-aturan
kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlinan mereka
semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung
ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari
seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas
kepentingan klien.”
Yang kedua
adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau
pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan
para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode
etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut
seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam keadaan apapun tetap menjunjung
tinggi tuntutan profesinya.
Kesimpulannya
adalah jabatan guru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini
tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa
profesi guru adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib
menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk
mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang
telah diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.
G. Tuntutan Seorang Guru
Di atas telah
dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur.
Berikut akan diuraikan tentang dua tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan
guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah:
1. Mengembangkan
visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik.
2. Mengembangkan
potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap
pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk
menentukan mana yang baik atau tidak baik.
Apabila
seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai
tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu
pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat eks-klusif.
Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan
dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir
konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak diajarkan bahwa
untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa
sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan
sehingga menutup kemung-kinan akan timbulnya visi bersama (kelompok) akan hal
yang baik.
Berbeda dengan
tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan
peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada
diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru
mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengembangkan
visi apa yang baik secara konkrit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah
kehidupan bermasyarakat sehingga pada akhirnya akan terbentuklah dalam diri
anak sense of justice dan sense of good. Komitmen guru dalam mengajar guna
pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus
memiliki loyalitas terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga (sekolah). Sekolah
selanjutnya akan mengatur guru, KBM dan siswa supaya mengalami proses
belajar-mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi
penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan
bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan,
membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru mempunyai otonomi). Hal
ini menjadi perlu bagi seorang yang profesional dalam pekerjaannya.
Masyarakat
umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini
dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses’ anak
didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga (sekolah).
Lembaga (sekolah) boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari
masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga (sekolah) atau guru
tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini
menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga (sekolah) atau
guru.
Dengan
demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu
dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban
melainkan visi yang akan dicapai guru melalui pro-ses belajar mengajar. Guru
perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut.
H. Etika Keguruan
Sebenarnya
kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional,
ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam
kerjanya. Lebih ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi
pandangan Islam, maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang
dipikulkan kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam dan
seterusnya di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki
sifat-sifat yang berikut:
- Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat
bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran, ayat
79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.
- Bahwa ia
mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu
pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia
dalam bidang pengkhususannya.
- Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan
risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari
kebenaran serta melaksanakannya.
- Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat
kepada pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang
timbul.
- Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan
tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat
mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya.
Seperti makna sebuah hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan
berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
- Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan
kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi
suasana tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi
professional dan psikologikal yang baik.
- Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup
membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
- Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan
trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan
pemikiran mereka.
- Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya,
tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar.
Inilah sifat-sifat terpenting yang patut dipunyai oleh
seorang guru Muslim di atas mana proses penyediaan guru-guru itu harus dibina.
Buku-buku pendidikan telah juga memberikan ciri-ciri umum
seorang guru, ciri-ciri itu tidak terkeluar dan sifat-sifat dan aspek-aspek
berikut:
- Tahap pencapaian ilmiah
- Pengetahuan umum dan keluasan bacaan
- Kecerdasan dan kecepatan berfikir
- Keseimbangan jiwa dan kestabilan emosi
- Optimisme dan entusiasme dalam pekerjaan
- Kekuatan sahsiah
- Memelihara penampilan(mazhar)
- Positif dan semangat optimisme
- Yakin bahawa ia mempunyai risalah(message)
Dari uraian di
atas jelaslah bahawa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan sahaja di dalam
sekolah, tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus
untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul
bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti fakulti-fakulti
pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan masyarakat Islam
sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa
perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah
pendidikan Islam. Petunjuk (hidayah) Islam di dalam dan di luar adalah sebab
tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk generasi-generasi umat Islam yang
memahami dan menyedari risalahnya dalam kehidupan dan melaksanakan risalah ini
dengan sungguh-sungguh dan amanah dan juga menyedari bahawa mereka mempunyai
kewajipan kepada Allah S.W.T dan mereka harus melaksanakan tugas itu dengan
sungguh-sungguh dan ikhlas.
Begitu juga
mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya
dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sedar bahawa
mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka
melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah, professionalisme dan
kecekalan. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam
kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman dan kebanggaan
Setelah
berpanjang lebar tentang kode etika keguruan dalam pandangan pendidikan Islam,
marilah kita tutup bagian ini dengan suatu misal atau model yang menjamin bahwa
bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan maka masyarakat
akan hidup bahagia dan individu-individu dan kumpulan-kumpulan akan hidup
dengan tenteram. Model ini tergambar dalam firman Allah S.W.T yang bermaksud,
“Katakanlah
(wahai Muhammad) marilah aku bacakan apa yang dihararamkan kepadamu oleh
Tuhanmu. Hendaklah berbuat baik kepada kedua ibu bapa. Janganlah kamu membunuh
anak-anakmu kerana takut kemiskinan, sebab Kamilah yang memberi mereka dan kamu
rezeki. Jangan kamu mendekati perkara-perkara buruk yang terang-terangan dan
yang tersembunyi. Jangan kamu membunuh diri yang dihararamkan kamu membunuhnya
kecuali dengan kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu, mudah-mudahan kamu
berakal. Jangan kamu mendekati harta anak yatim kecuali untuk yang lebih baik
sehinggalah ia dewasa. Sempumakanlah ukuran dan timbangan dengan adil. Allah
tidak memberi beban seseorang kecuali yang disanggupinya. Jika kamu berkata,
maka berbuat adillah walaupun kepada sanak saudara. Sempurnakanlah janjimu
kepada Allah. Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu ingat. Sungguh inilah
jalanKu yang lurus, maka ikutilah olehmu, jangan kamu ikut jalan-jalan lain
nescaya kamu bercerai-berai dari jalanNya. Itulah pesanNya bagimu,
mudah-mudahan kamu bertaqwa ”
Ayat-ayat ini
mengandungi sepuluh perakuan (wasaya) penting dalam kehidupan individu dan
kumpulan-kumpulan Islam dan kemanusiaan. Ia merupakan perlembagaan Ilahi dalam
pendidikan dan bimbingan akhlak dan sosial yang intinya adalah sebagai berikut;
- Jangan mensyarikatkan Allah S.W.T
- Berbuat baik kepada ibu bapa.
- Jangan membunuh anak kerana takut miskin.
- Jangan mendekati perkara-perkara buruk.
- Jangan membunuh manusia.
- Jangan mendekati harta anak-anak yatim.
- Sempurnakanlah timbangan dan ukuran dengan adil.
- Tidak boleh dibebani seseorang lebih dari
kemampuannya.
- Berbuat adillah dalam berkata-kata walaupun pada
kaum kerabat.
- Sempumakanlah janjimu dengan Allah S.W.T.
Selepas uraian
tentang kode etika dalam keguruan, marilah kita bahas tentang penghayatan dan
pengamalan nilai. Masalah penghayatan (internalization) sesuatu perkara berlaku
bukan hanya pada pendidikan agama saja tetapi pada aspek pendidikan, pendidikan
pra-sekolah, pendidikan sekolah, pengajian tinggi, pendidikan latihan perguruan
dan lain-lain. Sebab adalah terlalu dangkal kalau pendidikan itu hanya
ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan (skill) saja tetapi
yang lebih penting dari itu semua adalah penanaman sikap (attitude) yang
positif pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan pendidikan.
Pendidikan ilmu (knowledge) terutama yang berkenaan dengan fakta-fakta dan
ketrampilan tidaklah terlalu rumit sebab tidak terlalu banyak melibatkan
nilai-nilai. Tetapi sebaliknya pendidikan sikap di mana terlibat nilai-nilai
yang biasanya berasal dari cara-cara pemasyarakatan yang diperoleh oleh
kanak-kanak semasa kecil, apa lagi kalau objek pendidikan itu memang adalah
nilai-nilai yang tidak dapat dinilai dengan betul atau salah tetapi dengan baik
atau buruk, percaya atau tidak percaya, suka atau tidak suka dan lain-lain
lagi. Dalam keadaan terakhir ini pendidikan tidak semudah dengan pendidikan
fakta atau ketrampilan.
Pendidikan nilai-nilai,
yang selanjutnya kalau diulang-ulang sebab diteguhkan akan berubah menjadi
penghayatan nilai-nilai, mempunyai syarat-syarat yang berlainan dengan
pendidikan fakta-fakta ketrampilan.
1.
Pertama
sekali nilai itu mestilah mempunyai model.
Yang berarti
tempat di mana nilai itu melekat supaya dapat disaksikan bagaimana nilai-nilai
itu beroperasi. Ambillah suatu nilai seperti kejujuran. Nilai ini bersifat
mujarrad(abstract), jadi tidak dapat diraba dengan pancaindera. Tidak dapat
dilihat dengan mata, rupanya bagaimana. Tidak dapat dicium baunya, harum atau
busuk dan sebagainya. Pendeknya, supaya nilai yang bernama kejujuran itu dapat
disaksikan beroperasi maka ia harus melekat pada suatu model, seorang guru,
seorang bapa, seorang kawan dan lain-lain. Kalau model tadi dapat mencerminkan
nilai-nilai yang disebut, kejujuran itu pada dirinya, maka kejujuran itu boleh
menjadi perangsang. Itu syarat pertama. Syarat yang kedua kalau kejujuran itu
dapat menimbulkan peneguhan pada diri murid-murid maka ia akan dipelajari,
ertinya diulang-ulang dan kemudian berubah menjadi penghayatan. Syarat kedua
agak rumit sedikit, sebab selain daripada nilai kejujuran itu sendiri, juga
model tempat kejujuran itu melekat diperlukan berfungsi bersama untuk
menimbulkan peneguhan itu. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, seorang guru
atau ibu yang mengajarkan kejujuran kepada murid atau anaknya, haruslah ia
sendiri lebih dahulu bersifat jujur, kalau tidak maka terjadi pertikaian antara
perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan terakhir ini, guru sebagai
perangsang(stumulus) telah gagal sebagai model, sebab ia tidak akan memancing
tingkahlaku kejujuran dan murid-muridnya.
2.
Oleh
sebab model tempat melekatnya nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada
murid-murid adalah manusia biasa, dengan pengertian dia mempunyai
kekurangan-kekurangan, maka nilai-nilai yang akan diajarkan itu boleh menurun
nilainya disebabkan oleh kekurangan-kekurangan yang ada pada model itu, malah
ada kemungkinan anak didik mempelajari nilai sebaliknya.
Jadi daripada jujur dia menjadi tidak jujur,
jika pada model itu timbul sifat-sifat atau tingkah laku yang tidak meneguhkan
kejujuran itu. Sebagai misal, ada murid-murid yang benci kepada matematik sebab
ia tidak suka kepada guru yang mengajarkan matematik, kalau sikap ini
dikembangkan, murid-murid boleh benci kepada semua yang berkaitan dengan
matematik, seperti pelajaran sains misalnya. Oleh sebab itu dikehendaki dari
guru-guru, terutama pada tingkat-tingkat sekolah dasar agar mereka melambangkan
ciri kesempumaan dari segi jasmaniah dan rohaniah. Dengan kata lain syarat
penghayatan nilai-nilai sangat bergantung pada peribadi model yang membawa
nilai-nilai itu.
3.
Semua
guru, terlepas daripada mata pelajaran yang diajarkannya, adalah pengajar
nilai-nilai tertentu.
Sebab
guru-guru sama ada sedar atau tidak, mempengaruhi murid-muridnya melalui
kaedah-kaedah dan strategi-strategi pengajaran yang digunakan yang sebahagian
besarnya termasuk dalam kawasan “kurikulum informal”. Sebagaimana setiap guru,
apapun yang diajarkannya, adalah seorang guru bahasa maka setiap guru juga
adalah seorang pengajar nilai-nilai. Bila seorang guru memuji seorang murid,
maka ia meneguhkan sesuatu tingkahlaku. Bila guru menghukum seorang murid, maka
ia menghukum tingkahlaku tertentu. Malah bila guru tidak mengacuhkan seorang
murid, maka murid tersebut mungkin merasa bahawa guru tidak menyukai
perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai. Begitu juga dengan pendidikan
agama, sebahagian, kalau tidak sebahagian besar, nilai-nilai agama itu sendiri
tidak diajarkan oleh guru-guru agama di sekolah, tetapi oleh guru-guru
matematik, geografi, sejarah dan lain-lain. Kalau mereka mencerminkan
nilai-nilai Islam dalam cara berpakaian, bersopan-santun, beribadat atau dengan
kata lain kalau amal mereka mencerminkan nilai-nilai Islam. Malah sebaliknya,
mungkin ada setengah-setengah guru-guru agama sendiri tidak menjadi perangsang
nilai-nilai Islam itu, kalau tidak menjadi perangsang negatif yang boleh
menimbulkan sifat anti-agama pada diri murid-murid, iaitu jika perangai mereka
sehari-hari bertentangan dengan nilai-nilai Islam, walaupun mereka sendiri
mengajarkan agama. Jadi jangankan menghayati agama, sebaliknya murid-murid
semakin menjauhi kalau tidak membenci segala yang berbau agama.
Inilah
sebahagian syarat-syarat yang perlu wujud untuk penghayatan nilai-nilai. Oleh
sebab pendidikan agama merupakan pendidikan ke arah nilai-nilai agama, maka
orientasi pendidikan agama haruslah ditinjau kembali sesuai dengan tujuan
tersebut. Pendidikan agama sekadar untuk lulus ujian mata pelajaran agama sudah
lewat masanya. Orientasi sekarang adalah ke arah kemasyarakatan yang
bermotivasi dan berdisiplin. Ini tidaklah mengesampingkan bahawa dalam
pelajaran agama itu sendiri ada perkara-perkara yang bersifat fakta-fakta dan
ketrampilan-ketrampilan. Maka pada yang terakhir ini juga berlaku kaedah
pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan. Tetapi memperlakukan semua pendidikan
agama sebagai pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan saja adalah
suatu kesalahan besar yang perlu diperbaiki dengan segera. Sebab kalau tidak
maka suatu masa nanti akan timbul dalam masyarakat Islam sendiri ahli-ahli
agama yang tidak menghayati ajaran agama atau orang-orang orientalis yang
berdiam di negeri-negeri Timur.
Pengamalan
nilai-nilai adalah kelanjutan daripada penghayatan nilai. Nilai-nilai yang
sungguh-sungguh dihayati akan tercermin dalam amalan sehari-sehari. Sebab
penghayatan itu pun berperingkat-peringkat, mulai dari peringkat yang paling
rendah sampai kepada peringkat tinggi, seperti tergambar pada gambarajah di
bawah,
Kelima : Peringkat
Perwatakan
Keempat : Peringkat
Organisasi
Ketiga : Peringkat
Penilaian
Kedua : Peringkat
Gerak balas
Pertama : Peringkat
Penerimaan
Bila
nilai-nilai itu dihayati sampai ke peringkat perwatakan maka ia sebati dengan
sahsiah dan sukar untuk diubah dan sentiasa terpancar dalam amalan
sehari-hari.Kesimpulan. Oleh sebab kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia
perlu dihayati dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan dihafalkan. Di situ
juga telah dinyatakan perakuan yang sepuluh (al-Wisaya al-’Asyarah) tentang
segala kerjanya seorang muslim yang tercantum dalam al-Quran (al-An’am:
151-153).
I. Penutup
Seandainya
kita coba mengkaji lebih dalam akan arti/makna dari lagu tersebut, maka
tampaklah sebuah gambaran keseharian seorang guru, dengan loyalitasnya,
ketekunan serta pengor-banan dalam mendidik siswa untuk mencapai suatu proses
perkembangan yang optimal. Namun, dibalik itu semua juga tersirat suatu dilema
profesi ini dimana seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun perlakuan
yang sebanding dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang yang
berprofesi sebagai seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana pula
sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini
hanyalah sebuah tulisan dari pemikiran dan diskusi yang teoritis ini, namun
de-ngan yang teoritis ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan untuk
merefleksikan kembali pilihan kita.
Jabatan guru
merupakan jabatan Profesional, dan sebagai jabatan profesional, pemegangnya
harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain
bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu
yang khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan
dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan
yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai
organisasi profesional, dan mempunyai kode etik yang di taati oleh anggotanya.
Jabatan guru
belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun perkembangannya di
tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut. Usaha untuk
ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan
organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
ü Soetjipto, Raflis Kosasi, 1999, “Profesi Keguruan”,
Cetakan ke I, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta
ü Suharsimi Arikunto, 1980 “Pengelolaan Kelas dan Siswa”,
Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rajawali.
ü Suharsimi Arikunto, 1993, “Manajemen Pengajaran Secara
Manusiawi”, Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
ü Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 1997, “Strategi
Belajar Mengajar”, Cetakan ke I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
ü Syaiful Bahri Djamarah, 2000, “Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif”, Cetakan ke I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar