MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen pengampu : Bpk. Nor Ma’rufin
Disusun Oleh :
Edi Maftukin :111104
Sari Ulya Ningsih :111106
Dzurrotun Nafi’ah :111083
Anik Suryani : 111102
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/
PAI TAHUN 2012
I. PENDAHULUAN
Sebagaimana
yang gtelah kita ketahuibahwa tasawuf mempunyai banyak sekali perkembangan nya
diantara nya Tasawuf Falasafi dan Sunni,tasawuf ini mengalami banyak berbagai
aspek dan pemahaman dan adapula siapa-siapa tokohyang mendalami /mengetahui
esistensi dalam pengertian ilmu tasawuf falsafi dan sunni, oleh karena ini
pemakalah mengulas lebih jauh, lebih dalam tentang pengertian dan perkembangan
tasawuf falsafi dan sunni.
II. PERMASALAHAN
1.
Bagaimana
perkembangan Tasawuf Falsafi dan tokoh-tokohnya ?
2.
Bagaimana perkembangan
Tasawuf Sunni dan tokoh-tokohnya ?
III.PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Tasawuf Falsafi dan tokohnya
Pada abad III dan IV Hijriyyah tasawuf sudah mempunyai corak yang
berbeda dengan tasawwuf muncul istilah abad sebelumnya pada masa ini muncul
istilah fana’, iddihad dan hulul dan tasawuf pada masa ini di namakan Tasawuf
Falsafi.
Tasawuf Falsafi adalah Tasawuf yang bercampur dengan ajaran
filsafat atau tasawuf yang memadukan antara visi intuitif dan visi rasional.
Oleh karna itu tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya di katakana
bias di katakan Tasawuf dan juga tidak di katakana filsafat, karna itu di sebut
tasawuf falsafi, karna disatu pihak memakai term-term filsafat namun dilain
pihak memakai dzauq atau intuisi atau wujdan (rasa).[1]
Tokoh tokoh tasawuf falsafat pada masa ini di antaranya Abu Yazid Al-Bustami
dan Husain bin Mansur Al-hallaj.
v Abu Yazid Al-busthami
Nama lengakapnya adalah Abu Yazid Thaifuri bin ‘isa bin syurusan
Al-Busthami, lahir di daerah Bustam (Persia) pada tahun 874-947 M.
Ajaran tasawuf dari abu
Yazid adalah fana’ dan ittihad. Fana’ secara bahasa berasal dari kata faniya
yang berarti musnah atau lenyap.[2]
Secara istilah, fana’ adalah sirnanya (kesadarannya) seorang dari
dirinya dan dari mahluk lainnya yang terjadi karna hilangnya kesadaran
seseorang akan dirinya maupun makhluk lainnya. Dirinya tetap ada dan makhluk
lain juga tetep ada, tetapi dia tidak sadar
lagi terhadap dirinya sendiri dan alam sekitarnya.[3]
Tahapan selanjutnya adalah ittihad, yaiyu suatu tingkatan ketika
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan sehingga masing-masing
dapat memanggil dengan kata “aku”. Dalam Ittihad, identitas telah menjadi satu.
Sifi yang bersangkutan dikarenakan fana’nya tidak mempunyai kesadaran lagi dan
berbicara dengan nama Tuhan.[4]
v Husain bin Mansyur
Al-hallaj
Namanya Al-hallaj adalah Abu Al-mughits Al-husain bin Mansyur
bin Muhammad Al-baidhowi, lahir
di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia pada tahun 244 H / 855 M. Ia di
gelari Al-hallaj karna penghidupannya dari meminta wol.
Di antara ajaran tasawuf
Al-hallaj yang terkenal adalah Al-hulul, kata hulul secara bahasa
berarti menepati suatu tempat. Menurut istilah tasawuf Al-hulul adalah suatu faham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu dan engambil tempat di
dalamnya. Setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu di
lenyapkan.[5]
Teori hulul ini di kembangkan lebih jauh oleh Ibnu ‘arabi dengan teori wahdatul
wujud.
Puncak tasawuf falsafi abad
ke 3 dan ke 4 H terjadi pada masa Husain bin Mansur Al-hallaj (244-309 H). Ia
merupakan tokoh yang paling kontrofrsial di dalam sejarah tasawuf dan akhirnya menemui ajalnya di tiang
gantungan.
Setelah Al-Hallaj menimggal semakin tenggelamlah tasawuf falsafi,
semetara tasawuf sinni semakin mendapat
tempat di hati masyarakat. Abad ke 5 H boleh di katakan sebagai masa kemunduran
tasawuf falsafi dan berjayanya tasawuf sunni. Setelah itu maka pada awal abad
ke-6 H tasawuf falsafi muncul kembali.[6]
Puncak perkembangan tasawuf
pada abad ke-6 H terletak pada ‘Arabi. Nama lengkapnya adalah Muhammad
bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Tha’I Al-haitami, yang bergelar Abu Bakar
dan beliau di sebut juga muhyiddin dan lebih di kenal lagi dengan sebutan ibnu
‘Arabi, lahir di Murcia, Andalusia tenggara, Spanyol, pada tahun 560 H, dan wafat
di Damaskus negeri syam pada tahun 630 H (1240).
Ajaran pokok dari Ibu ‘Arabi adalah tenyang Wahdatul wujud
(kesatuan wujud). Menurut ibnu ‘Arabi wujud semua yang ada ini satu dan pada
hakikatnya wujud makhluk adalah wujud
kholok juga. Tidak ada perbedaan di antaranya (kholik dan makhluk), kalau di
katakana berlainan dan berbeda antara makhluk dengan kholik itu hanyalah
lantaran pendeknya faham dan singkat akal dalam mencapai mengetahui hakikat.
Menurutnya, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah
adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang Qodim (kholik)
dengan wujud yang baru (makhluk). Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah)
dengan mahbub (yang di sembah). Antara yang di sembah dan yang di sembah adalah
satu.[7]
Jika di analisa secara mendasar, paham wahdatul wujud sesungguhnya
didasarkan pada renungan filsafat tentang penciptaan. Menurut Ibnu ‘Araby ala
mini di ciptakan oleh Allah dari ‘ain (esensi) wujud Tuhan, sehingga apabila
Tuhan ingin melihat diri-Nya maka cukup melihat ala mini. Dengan kata lain
walaupun pada lahirnya ala mini tampak berbeda-beda, tapi pada setiap yang ada
itu terdapat sifat ketuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi
atau ‘ain sesuatu itu.[8]
B.
Perkembangan
Tasawuf Sunni dan tokohnya.
Tasawuf sunni yaitu bentuk tasawuf
yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-hadits, serta mengaitkan
akhwal (keadaan) dan maqomat tingkatan rohaniyah) mereka kepada kedua sumber
tersebut.
Tasawuf sufi ini, tetap konsisten dan komitmen dengan ajaran-ajaran
Islam, karena tetap berbegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, oleh karna
sifatnya yang demikian, maka tasawuf ini dapat diterima oleh sebagai dasar
‘ulama yang tergolong ahli sunnah, hal ini pulalah salah satu sebab utama
penanaman dengan tasawuf sunni.[9]
Di
antara para sufi yang berpengaruh dalam tasawuf sunni, di antaranya:
1. AL-Qusyairi
Al-Qusyairi memiliki nama lengkap Abdul Karim bin Hawazim, lahir pada
tahun 367 H.di Itiwa, Kawasan Nishafur yang merupakan salah satu sifat pusat ilmu
pengetahuan.pada masanya Al-Qusyairi adalah salah satu seorang sufi utama abad
V hijriyah kedudukannya demikian penting mengingat karyanya banyak di pakai
sebagai rujukan para sufi ia terkenal memmbela teologi ahlussunah wal-jamaah
yang mampu mengompromikan syariah dan hakikat dan dia berusaha mengembalikan
tasawuf pada landasannya , Al-qur’an dan
Al-hadist
Ada dua hal
dikritikkan yaitu tentang syatahiat yang dikembangkan oleh sufi falsafi
dan caraberpakaian mereka yang menyerupai orang miskin. Al-Qusyairi menekankan
bahwa kesehatan batin dengan berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunah, lebih
penting dari pakaian lahiriyah yang memberi kesan zuhud tapi hatinya tiidak
demikian.[10]
2. Al- Harawy
Tokoh sufi yang lain gencar menyerang
penyelewengan tasawuf ialah Al- Harawy.
Sikapnya yang tegas dan tandas terhadap tasawuf cukup di maklumi, karena ia
termasuk hanabilah (pendukung Ahmad Ibnu Hanbal), ia dikenal penyusun teori
fana’ dalam kesatuan, tetap fana’nya berbeda dengan fana’ sufi falsafi. Baginya
fana’ bukanlah fana’ wujud sesuatu selain Allah, tetapi dari penyaksiannya dan
perasaan mereka sendiri.
Al- Hawary menganggap bahwa orang yang ada
mengeluarkan syathathat, hatinya tidak bisa tentram. Dengan kata lain syathahat
itu muncul dari ketidaktenangan, sebab apabila ketentraman itu terpaku dalam
kalbu mereka, akan membuat seseorang terhindar dari keganjilan ucapan.
3. Al- Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Ta’us Al-Thusi Al-Syafi’i Al-Ghazali. Ia panggil al-Ghazali karena
dilahirkan di Ghozlah, suatu kota di Khurosan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M,
dan wafat pada tanggal 19 Desember 1111 M di Thus/ senin, 14 Jumadil Akhir 505
H.
Jika tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaan
dalam pengajaran ibn Arabi maka tasawuf sunni memperoleh bentuk yang final di
tangan iman Ghozali.
Dalam ilmu tasawuf, Al- Ghazali memilih
tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah ditambah dengan doktrin Ahl-sunnah
wa al-jamaah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan
moral. Menurutnya, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan
hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela,
sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat
Allah.
Al- Ghazali menilai negatif terhadap
syathahat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang
memperhatikan kepada amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit
dipahami, dan mengemukakan kesatuan dengan tuhan, serta menyatakan bahwa Allah
dapat disaksikan. Dan ini membawa dampak negatif terhadap orang awam, lari
meninggalkan pekerjaannya, lalu menyatakan ungkapan-ungkapan yang mirip
dengannya. Kedua, syahadat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan
hasil imajinasi sendiri.
Selain itu, ia menolak paham hulul dan
ittihat. Ia menyodorkan teori baru tentang ma’rifat dalam batas “pendekatan
diri kepada Allah (taqorub ila Allah)”. Tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
Jalan menuju ma’rifat adalah paduan antara ilmu dan amal, sementara buahnya
adalah moralitas. Secara ringkas, Al-Ghozali patut disebut berhasil
mendiskripsikan jalan menuju Allah. Ma’rifat menuju Al-Ghazali di awali dalam
bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan
dengan fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqomat) dan
keadaan (ahwal) yang akhirnya sampai kepada fana’, tauhid, ma’rifat dan
kebahagiaan.[11]
Kebahagiaan merupakan tujuan akhir perjalanan
sufi, sebagai sebuah pengatahuan tentang Allah dan Ma’rifat. Mengenahi kebahagiaan
Al-Ghazali mengurakan dalam kitab “Kimia Al-Sya’adah” disamping ihya’ ulumuddin
bahwa kebahagiaan itu adalah ilmu dan amal. Ilmu dipelajari karena
kemanfaatannya dan sarana terbaik dari ilmu adalah amal yang mengantarkannya
kepada kebahagiaan. Amal tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa ilmu yang
menjelaskan tentang cara beramal itu sendiri.[12]
IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa
telaah substantive taawuf falsafi dan sunni adalah sebagai berikut:
1. Tasawuf Falsafi muncul pada abad III dan IV H yaitu
dengan istilah fana’, ittihad, dan hulul. Tokoh dari tasawuf falsaf ini adalah
Abu Yazid Al- Busthami dan Husain Bin Mansur Al-Hallaj.
Fana’ dapat dipahami dengan sinarnya kesadaran seseorang
dari dirinya dan dari makhluk lainnya karena hilangnya kesadaran seseorang akan
dirinya maupun makhluk lainnya. Sedangkan ittihad adalah kondisi dimana seorang
sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Sementara hulul adalah paham yang
menerangkan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu dan mengambil tempat
didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan dilenyapkan.
2. Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang
memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist, serta mengaitkan ahwal
(keadaan) dan maqomar (tingkatan rohaniyah) mereka kepada kedua sumber
tersebut. Tokoh dari tasawuf sunni adalah Al-Qusyairi, Al-Harawy dan Al-Ghozali.
V. PENUTUP
Demikian yang dapat pemakalah sampaikan.
Pemakalah yakin masih banyak kekurangan dalam makalah kami untuk itu kritik dan
saran sangat kami harapkan untuk perbaikan dalam makalah kami. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita, amin ya robbal ‘alamin.....................
REFRENSI
Masyharuddin. Buku
Daros Ilmu Tasawuf. STAIN KUDUS Press, Kudus, 2006
Masyharuddin,
Pembrontakan Tasawuf, JP Books, Surabaya, 2007
Harun Nasution, Falsafah dan Mistitisme
Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Islam, PT.Ichtiar, Baru Van Hoeve, Jakarta,
2001
Hamka, Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurnian, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983
Masyharuddin,
Pembrontakan Tasawuf,Op Cit
http//baimkeren.blogspot.com/2007/07/makalah-tasawuf-sunni-dan-falsafi.html
Amin syukur dan mayharudin.
Intelektualisme tasawuf,pustaka pelajar, semarang2002
[1] Masyharuddin. Buku
Daros Ilmu Tasawuf. STAIN KUDUS Press, Kudus, 2006, hlm.68.
[6]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Islam, PT.Ichtiar, Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2001.
[7] Hamka,
Tasawuf, Perkembangan dan Pemurnian, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983,
hlm.40.
[8]
Masyharuddin, Pembrontakan Tasawuf,Op Cit, hlm.168
[9]
http//baimkeren.blogspot.com/2007/07/makalah-tasawuf-sunni-dan-falsafi.html
[10] Amin syukur dan mayharudin.
Intelektualisme tasawuf,pustaka pelajar, semarang2002,hlm 26
[12] http: baim-keren.blogspot.com/2007/07/makalah-tasawuf-sunni-dan-falsafi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar