Sabtu, 18 April 2015

ANTARA TASAWUF FALSAFI DAN TASAWUF SUNNI


MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen pengampu : Bpk. Nor Ma’rufin

Disusun Oleh :
Edi Maftukin            :111104
Sari Ulya Ningsih      :111106
Dzurrotun Nafi’ah     :111083
                                                    Anik Suryani            : 111102



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/ PAI TAHUN 2012


I. PENDAHULUAN
Sebagaimana yang gtelah kita ketahuibahwa tasawuf mempunyai banyak sekali perkembangan nya diantara nya Tasawuf Falasafi dan Sunni,tasawuf ini mengalami banyak berbagai aspek dan pemahaman dan adapula siapa-siapa tokohyang mendalami /mengetahui esistensi dalam pengertian ilmu tasawuf falsafi dan sunni, oleh karena ini pemakalah mengulas lebih jauh, lebih dalam tentang pengertian dan perkembangan tasawuf falsafi dan sunni.
       II. PERMASALAHAN
1.      Bagaimana perkembangan Tasawuf Falsafi dan tokoh-tokohnya ?
2.      Bagaimana perkembangan Tasawuf Sunni dan tokoh-tokohnya ?

       III.PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Tasawuf Falsafi dan tokohnya
Pada abad III dan IV Hijriyyah tasawuf sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawwuf muncul istilah abad sebelumnya pada masa ini muncul istilah fana’, iddihad dan hulul dan tasawuf pada masa ini di namakan Tasawuf Falsafi.
Tasawuf Falsafi adalah Tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat atau tasawuf yang memadukan antara visi intuitif dan visi rasional. Oleh karna itu tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya di katakana bias di katakan Tasawuf dan juga tidak di katakana filsafat, karna itu di sebut tasawuf falsafi, karna disatu pihak memakai term-term filsafat namun dilain pihak memakai dzauq atau intuisi atau wujdan (rasa).[1]
Tokoh tokoh tasawuf falsafat pada masa ini di antaranya Abu Yazid Al-Bustami dan Husain bin Mansur Al-hallaj.
v         Abu Yazid Al-busthami
Nama lengakapnya adalah Abu Yazid Thaifuri bin ‘isa bin syurusan Al-Busthami, lahir di daerah Bustam (Persia) pada tahun 874-947 M.
Ajaran tasawuf  dari abu Yazid adalah fana’ dan ittihad. Fana’ secara bahasa berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap.[2]
Secara istilah, fana’ adalah sirnanya (kesadarannya) seorang dari dirinya dan dari mahluk lainnya yang terjadi karna hilangnya kesadaran seseorang akan dirinya maupun makhluk lainnya. Dirinya tetap ada dan makhluk lain juga tetep ada, tetapi dia tidak sadar  lagi terhadap dirinya sendiri dan alam sekitarnya.[3]
Tahapan selanjutnya adalah ittihad, yaiyu suatu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan sehingga masing-masing dapat memanggil dengan kata “aku”. Dalam Ittihad, identitas telah menjadi satu. Sifi yang bersangkutan dikarenakan fana’nya tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[4]
v        Husain bin Mansyur Al-hallaj
Namanya Al-hallaj adalah Abu Al-mughits Al-husain bin Mansyur bin         Muhammad Al-baidhowi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia pada tahun 244 H / 855 M. Ia di gelari Al-hallaj karna penghidupannya dari meminta wol.
Di antara ajaran tasawuf  Al-hallaj yang terkenal adalah Al-hulul, kata hulul secara bahasa berarti menepati suatu tempat. Menurut istilah tasawuf  Al-hulul adalah suatu faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu dan engambil tempat di dalamnya. Setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu di lenyapkan.[5] Teori hulul ini di kembangkan lebih jauh oleh Ibnu ‘arabi dengan teori wahdatul wujud.
Puncak tasawuf  falsafi abad ke 3 dan ke 4 H terjadi pada masa Husain bin Mansur Al-hallaj (244-309 H). Ia merupakan tokoh yang paling kontrofrsial di dalam sejarah tasawuf  dan akhirnya menemui ajalnya di tiang gantungan.
Setelah Al-Hallaj menimggal semakin tenggelamlah tasawuf falsafi, semetara tasawuf  sinni semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Abad ke 5 H boleh di katakan sebagai masa kemunduran tasawuf falsafi dan berjayanya tasawuf sunni. Setelah itu maka pada awal abad ke-6 H tasawuf  falsafi muncul kembali.[6]
Puncak perkembangan tasawuf  pada abad ke-6 H terletak pada ‘Arabi. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Tha’I Al-haitami, yang bergelar Abu Bakar dan beliau di sebut juga muhyiddin dan lebih di kenal lagi dengan sebutan ibnu ‘Arabi, lahir di Murcia, Andalusia tenggara, Spanyol, pada tahun 560 H, dan wafat di Damaskus negeri syam pada tahun 630 H (1240).
Ajaran pokok dari Ibu ‘Arabi adalah tenyang Wahdatul wujud (kesatuan wujud). Menurut ibnu ‘Arabi wujud semua yang ada ini satu dan pada hakikatnya  wujud makhluk adalah wujud kholok juga. Tidak ada perbedaan di antaranya (kholik dan makhluk), kalau di katakana berlainan dan berbeda antara makhluk dengan kholik itu hanyalah lantaran pendeknya faham dan singkat akal dalam mencapai mengetahui hakikat.
Menurutnya, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang Qodim (kholik) dengan wujud yang baru (makhluk). Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan mahbub (yang di sembah). Antara yang di sembah dan yang di sembah adalah satu.[7]
Jika di analisa secara mendasar, paham wahdatul wujud sesungguhnya didasarkan pada renungan filsafat tentang penciptaan. Menurut Ibnu ‘Araby ala mini di ciptakan oleh Allah dari ‘ain (esensi) wujud Tuhan, sehingga apabila Tuhan ingin melihat diri-Nya maka cukup melihat ala mini. Dengan kata lain walaupun pada lahirnya ala mini tampak berbeda-beda, tapi pada setiap yang ada itu terdapat sifat ketuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi atau ‘ain sesuatu itu.[8]
B.     Perkembangan Tasawuf  Sunni dan tokohnya.
Tasawuf sunni yaitu bentuk tasawuf  yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-hadits, serta mengaitkan akhwal (keadaan) dan maqomat tingkatan rohaniyah) mereka kepada kedua sumber tersebut.
Tasawuf sufi ini, tetap konsisten dan komitmen dengan ajaran-ajaran Islam, karena tetap berbegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, oleh karna sifatnya yang demikian, maka tasawuf ini dapat diterima oleh sebagai dasar ‘ulama yang tergolong ahli sunnah, hal ini pulalah salah satu sebab utama penanaman dengan tasawuf sunni.[9]
Di antara para sufi yang berpengaruh dalam tasawuf sunni, di antaranya:
1. AL-Qusyairi
Al-Qusyairi memiliki nama lengkap Abdul Karim bin Hawazim, lahir pada tahun 367 H.di Itiwa, Kawasan Nishafur yang merupakan salah satu sifat pusat ilmu pengetahuan.pada masanya Al-Qusyairi adalah salah satu seorang sufi utama abad V hijriyah kedudukannya demikian penting mengingat karyanya banyak di pakai sebagai rujukan para sufi ia terkenal memmbela teologi ahlussunah wal-jamaah yang mampu mengompromikan syariah dan hakikat dan dia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya , Al-qur’an dan  Al-hadist
Ada dua hal  dikritikkan yaitu tentang syatahiat yang dikembangkan oleh sufi falsafi dan caraberpakaian mereka yang menyerupai orang miskin. Al-Qusyairi menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunah, lebih penting dari pakaian lahiriyah yang memberi kesan zuhud tapi hatinya tiidak demikian.[10]
2. Al- Harawy
Tokoh sufi yang lain gencar menyerang penyelewengan tasawuf  ialah Al- Harawy. Sikapnya yang tegas dan tandas terhadap tasawuf cukup di maklumi, karena ia termasuk hanabilah (pendukung Ahmad Ibnu Hanbal), ia dikenal penyusun teori fana’ dalam kesatuan, tetap fana’nya berbeda dengan fana’ sufi falsafi. Baginya fana’ bukanlah fana’ wujud sesuatu selain Allah, tetapi dari penyaksiannya dan perasaan mereka sendiri.
Al- Hawary menganggap bahwa orang yang ada mengeluarkan syathathat, hatinya tidak bisa tentram. Dengan kata lain syathahat itu muncul dari ketidaktenangan, sebab apabila ketentraman itu terpaku dalam kalbu mereka, akan membuat seseorang terhindar dari keganjilan ucapan.
3. Al- Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Al-Thusi Al-Syafi’i Al-Ghazali. Ia panggil al-Ghazali karena dilahirkan di Ghozlah, suatu kota di Khurosan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M, dan wafat pada tanggal 19 Desember 1111 M di Thus/ senin, 14 Jumadil Akhir 505 H.
Jika tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaan dalam pengajaran ibn Arabi maka tasawuf sunni memperoleh bentuk yang final di tangan iman Ghozali.
Dalam ilmu tasawuf, Al- Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah ditambah dengan doktrin Ahl-sunnah wa al-jamaah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Menurutnya, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah.
Al- Ghazali menilai negatif terhadap syathahat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan kepada amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, dan mengemukakan kesatuan dengan tuhan, serta menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Dan ini membawa dampak negatif terhadap orang awam, lari meninggalkan pekerjaannya, lalu menyatakan ungkapan-ungkapan yang mirip dengannya. Kedua, syahadat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Selain itu, ia menolak paham hulul dan ittihat. Ia menyodorkan teori baru tentang ma’rifat dalam batas “pendekatan diri kepada Allah (taqorub ila Allah)”. Tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah paduan antara ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Secara ringkas, Al-Ghozali patut disebut berhasil mendiskripsikan jalan menuju Allah. Ma’rifat menuju Al-Ghazali di awali dalam bentuk latihan  jiwa, lalu diteruskan dengan fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqomat) dan keadaan (ahwal) yang akhirnya sampai kepada fana’, tauhid, ma’rifat dan kebahagiaan.[11]
Kebahagiaan merupakan tujuan akhir perjalanan sufi, sebagai sebuah pengatahuan tentang Allah dan Ma’rifat. Mengenahi kebahagiaan Al-Ghazali mengurakan dalam kitab “Kimia Al-Sya’adah” disamping ihya’ ulumuddin bahwa kebahagiaan itu adalah ilmu dan amal. Ilmu dipelajari karena kemanfaatannya dan sarana terbaik dari ilmu adalah amal yang mengantarkannya kepada kebahagiaan. Amal tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa ilmu yang menjelaskan tentang cara beramal itu sendiri.[12]

IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa telaah substantive taawuf falsafi dan sunni adalah sebagai berikut:
1.      Tasawuf  Falsafi muncul pada abad III dan IV H yaitu dengan istilah fana’, ittihad, dan hulul. Tokoh dari tasawuf falsaf ini adalah Abu Yazid Al- Busthami dan Husain Bin Mansur Al-Hallaj.
Fana’ dapat dipahami dengan sinarnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya karena hilangnya kesadaran seseorang akan dirinya maupun makhluk lainnya. Sedangkan ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Sementara hulul adalah paham yang menerangkan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu dan mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan dilenyapkan.
2.      Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqomar (tingkatan rohaniyah) mereka kepada kedua sumber tersebut. Tokoh dari tasawuf sunni adalah Al-Qusyairi, Al-Harawy dan Al-Ghozali.

V. PENUTUP
Demikian yang dapat pemakalah sampaikan. Pemakalah yakin masih banyak kekurangan dalam makalah kami untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan dalam makalah kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita, amin ya robbal ‘alamin.....................

REFRENSI
Masyharuddin. Buku Daros Ilmu Tasawuf. STAIN KUDUS Press, Kudus, 2006
Masyharuddin, Pembrontakan Tasawuf, JP Books, Surabaya, 2007

 Harun Nasution, Falsafah dan Mistitisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Islam, PT.Ichtiar, Baru Van Hoeve, Jakarta, 2001
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurnian, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983
Masyharuddin, Pembrontakan Tasawuf,Op Cit
http//baimkeren.blogspot.com/2007/07/makalah-tasawuf-sunni-dan-falsafi.html
Amin syukur dan mayharudin. Intelektualisme tasawuf,pustaka pelajar, semarang2002







[1] Masyharuddin. Buku Daros Ilmu Tasawuf. STAIN KUDUS Press, Kudus, 2006, hlm.68.
                        [2] Ibid, hlm 154
                        [3] Masyharuddin, Pembrontakan Tasawuf, JP Books, Surabaya, 2007, hlm 147.
             [4] Harun Nasution, Falsafah dan Mistitisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm,83.
                        [5] Op. Cit, hlm, 158
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Islam, PT.Ichtiar, Baru Van Hoeve, Jakarta, 2001.
[7] Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurnian, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hlm.40.
[8] Masyharuddin, Pembrontakan Tasawuf,Op Cit, hlm.168
[9] http//baimkeren.blogspot.com/2007/07/makalah-tasawuf-sunni-dan-falsafi.html
[10] Amin syukur dan mayharudin. Intelektualisme tasawuf,pustaka pelajar, semarang2002,hlm 26
[11] Ibid, hal. 28

[12] http: baim-keren.blogspot.com/2007/07/makalah-tasawuf-sunni-dan-falsafi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar