Minggu, 19 April 2015

Malaikat dan Khalifah

 TAFSIR AYAT 30 - 33       
Malaikat Dan Khalifah
Dengan dua ayat berturut-turut, yaitu ayat 28 dan 29 perhatian kita Insan ini disadarkan oleh Tuhan. Pertama, bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal dari mati kamu Dia hidupkan.Kemudian Dia matikan, setelah itu akan dihidupkanNya kembali untuk memperhitungkan amal.
Bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal seluruh isi bumi telah disediakan untuk kamu. Lebih dahulu persediaan untuk menerima kedatanganmu di bumi telah disiapkan, bahkan dari amar periatah kepada ketujuh langit sendiri. Kalau demikian adanya, pikirkanlah siapa engkau ini. Buat apa kamu diciptakan. Kemudian datanglah ayat khalifah.
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَة
"Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. " (pangkal ayat 30).
Sebelum kita teruskan menafsirkan ayat ini, terlebih dahulu haruslah dengan segala kerendahan hati dan iman kita pegang apa yang telah dipimpinkan Tuhan pada ayat yang tiga di permulaan sekali, yaitu tentang percaya kepada yang ghaib.
Tuhan telah menyampaikan dengan Wahyu kepada UtusanNya bahwa Tuhan pernah bersabda kepada Malaikat bahwa Tuhan hendak mengangkat seorang khalifah di bumi. Maka terjadilah semacam soal jawab di antara Tuhan dengan Malaikat. bagaimana duduknya dan di mana tempatnya bila waktunya soal jawab itu ? Tidaklah layak hendak kita kaji sampai ke sana.
Ada dua macam cara Ulama-ulama ikutan kita menghadapi wahyu mi. Pertama ialah Mazhab Salaf. Mereka menerima berita wahyu itu dengan tidak bertanya-tanya dan berpanjang soal.
Tuhan Allah telah berkenan menceritakan dengan wahyu tentang suatu kejadian di dalam alam ghaib, dengan kata yang dapat kita pahamkan, tetapi akal kita tidak mempunyai daya upaya buat masuk lebih dalam ke dalam arena ghaib itu. Sebab itu kita terima dia dengan sepenuh iman.
Cara yang kedua ialah penafsiran secara Khalaf, yaitu secara Ulama-Ulama yang datang kemudian. Yaitu dipakai penafsiran­penafsiran yang masuk akal, tetapi tidak melampaui garis yang layak bagi kita sebagai makhluk.
Berdasar kepada ini, maka Mazhab Khalaf berpendapat bahwasanya apa yang dihikayatkan Tuhan ini niscaya tidak sebagai yang kita pikirkan. Niscaya pertemuan Allah dengan MalaikatNya itu tidak terjadi di satu tempat; karena kalau terjadi di satu tempat, tentu bertempatlah Allah Ta'ala. Dan bukanlah Malaikat itu berhadap­ hadapan duduk bermuka.-muka dengan Allah. Karena kalau demikian tentulah sama kedudukan mereka, rnalaikat sebagai makhluk, Allah sebagai Khaliq.
Menurut penyelidikan perkembangan iman dan agama dan perbandingannya dengan Filsafat, betapapun modernnya filsafat itu, maka mazhab khalajia.h yang lebih menenteramkan iman, dan kesanalah tujuan kepercayaan . Umumnya Filosof yang mukmin penganut mazhab Khalaf, seumparna filosof muslim yang besar Ibnu Rusyd. Demikian majunya dalam alarn filsafat, namun berkenaan dengan soal-soal ghaib, dia menjadi orang Khalaf yang tenteram dengan pendiriannya.
Imam Ghazali, dia berselisih tentang hukum akal. Bagi dia api wajib menghangusi , air membasahi. Tidak mungkin tidak begitu. Tetapi jika ditanyakan tentang Nabi Ibrahim a. s. tidak hangus dibakar api, dia menjawab bahwa hal begitu tidaklah tugas filsafat. Itu adalah tempat iman. "Sebagai Muslim saya percaya,"katanya.
Pelopor Filsafat Modern, yaitu Emmanuel Kant, dalam hal kepercayaan dia seakan-akan penganut dari mazhab Khalaf. Dia pernah berkata : "Betapapun kemajuan saya dalam berpikir, namun saya mengosongkan sesudut dari jiwa saya buat percaya
Sekarang kita teruskan:
Maka nampaklah di pangkal ayat, Tuhan telah bersabda kepada Malaikat menyatakan
rnaksud hendak mengangkat seorang khalifah di bumi ini.

قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ
"Mereka berkata: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau?
Artinya setelah Allah menyatakan maksudNya itu, maka Malaikatpun mohon penjelasan, khalifah manakah lagi yang dikehendaki oleh Tuhan hendak menjadikan?.
Di dalam ayat terbayanglah oleh kita bahwa Malaikat, sebagai makhluk Ilahi, yang tentu saja pengetahuannya tidak seluas pengetahuan Tuhan, meminta penjelasan, bagaimana agaknya corak khalifah itu ? Apakah tidak mungkin terjadi dengan adanya khalifah, kerusakan yang akan timbul dan penumpahan darahlah yang akan terjadi ? Padahal alam dengan kudrat iradat Allah Ta'ala telah tenteram, sebab mereka, malaikat, telah diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang patuh, tunduk,taat,dan setia. Bertasbih, bersembahyang mensucikan nama Allah.
Rupanya ada sedikit pengetahuan dari malaikat-malaikat itu bahwasanya yang akan diangkat menjadi khalifah itu ialah satu jenis makhluk. Dalam jalan pendapat malaikat, bilamana jenis makhluk itu telah ramai, mereka akan berebut-rebut kepentingan di antara satu sama lain.
Kepentingan satu orang atau satu golongan bertumbuk dengan satu orang atau satu golongan yang lain, maka beradulah yang keras timbullah pertentangan dan dengan demikian timbullah kerusakan bahkan akan timbul juga pertumpahan darah. Dengan demikian ketenteraman yang telah ada dengan adanya makhluk, malaikat yapg patuh, taat dan setia, menjadi hilang.
Pertanyaan dan kemusykilan itu dijawab oleh Tuhan.

قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
"Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. " (ujung ayat 30).
Artinya, dengan-jawaban itu, Allah Ta'ala tidak membantah pendapat dari MalaikatNya, cuma menjelaskan bahwasanya pendapat dan ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Bukanlah Tuhan memungkiri bahwa kerusakanpun akan timbul dan darahpun akan tertumpah tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari itu, sehingga kerusakan hanyalah sebagai pelengkap saja dan pembangunan dan pertumpahan darah hanyalah satu tingkat perjalanan hidup saja di dalam menuju kesempurnaan.
Dalam jawaban Tuhan yang dernikian, Malaikatpun menerimalah dengan penuh khusyu dan taat.
Sekarang kita uraikan terlebih dahulu tentang, apa atau siapakah Malaikat itu ?
Malaikat untuk banyak dan Malak untuk satu.
Tuhan menyebut di dalam al-Qur'an tentang adanya makhluk Allah bernama Malaikat. Disebutkan pekerjaan atau tugas mereka, ada yang mencatat amalan makhluk setiap hari, dan mencatat segala ucapan, ada yang membawa wahyu kepada Rasul-rasul dan Nabi-nabi, ada yang menjadi duta-duta (safarah) yang memelihara al-Qur'an, ada yang memikul Arsy Tuhan, ada yang menjaga surga dan yang menjaga neraka, dan ada yang siang dan malam berdoa, memuji-muji Allah dan bersujud, dan ada pula yang mendoakan agar makhluk yang taat diberi ampun dosanya oleh Tuhan. Dan banyak lagi yang lain.
Tetapi Tuhan Allah tidak menyebutkan dari bahan apa Malaikat itu dijadikan. Dan tersebut juga bahwa ada Malaikat itu yang menyatakan dirinya, sebagai yang datang membawakan Ilham kepada Maryam bahwa dia akan diberi putra, atau yang kelihatan oleh Nabi kita Muhammad s.a.w seketika beliau mula-mula menerima wahyu. Dan disebut juga ada Malaikat itu yang bersayap, dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat.
Orang-orang di jaman jahiliyah mencoba menggambarkan Malaikat itu sebagai manusia dan merekapun menentukan jenisnya; yaitu perempuan. Ini dibantah keras oleh al-Qur'an. Maka tidaklah pantas makhluk gaib itu ditentukan kelamin jantan atau betinanya.

Tersebut pula bahwa Malaikat yang datang membawa wahyu kepada Rasul-rasul itu namanya Jibril, dan disebut juga Ruhul-Arnin, dan disebut juga Ruhul-Qudus. Tetapi manusia yang beriman dan Istiqomah (tetap hati) di dalam Iman kepada Allah, juga akan didatangi oleh Malaikat-malaikat, untuk menghilangkan rasa takut dan duka­cita mereka. Dan di dalam peperangan Badar Malaikat itupun datang, sampai 3.000 banyaknya.
Seperti itulah yang tersebut dalam al-Qur'an. Dan dijelaskan pula oleh hadits-hadits bahwa Malaikat-malaikat itu memberikan ilham yang baik kepada manusia, dan menimbulkan keteguhan semangat dan iman. Sebagai juga tersebut di dalam hadits bahkan di dalam al­Qur'an sendiri bahwa setan, sebaliknya dari Malaikat, selalu membawa ilham buruk dan was-was kepada manusia. Tetapi ketika orang diberi ilham baik oleh Malaikat atau was-was buruk oleh setan maka yang menerima ilham atau was-was itu bukanlah badan kasar, melainkan roh manusia.

Tidaklah ada orang yang nampak dengan matanya seketika Malaikat atau setan datang memberinya ilham atau was-was melainkan masuk pengaruhnya ke dalam jiwa atau perasaan orang itu. Ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi, an-Nasa' i dan Ibnu Hibban, demikian bunyinya :
"Sesungguhnya dari setan ada semacam gangguan kepada anak Adam, dan dari Malaikatpun ada pula. Adapun gangguan setan ialah menjanjikan kejahatan dan mendustakan kebenaran, dan sentuhan Malaikat ialah menjanjikan kebaikan dan menerima kebenaran.Maka siapa yang merasai yang demikian, hendaklah dia mengetahui bahwa perkara itu dari Allah, dan berterima-kasihlah dia kepadaNya.Tetapi kalau didapatnya lain, hendaklah dia berlindung kepada Allah dari setan. (Kemudian dibacanya ayat yang artinya : "Setan menyuruh menjanjikan melarat untukmu dan menyuruhmu berbuat yang keji-keji. '
Turmidzi mengatakan hadits ini hasan gharib.
Syaikh Muhammad Abduh seketika menafsirkan ayat ini berkata:
"Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa di dalam batin segala yang tercinta ini memang tersembunyi kekuatan-kekuatan besar yang menjadi sendi dari kekuatan dan kerapiannya, yang tidak mungkin dipungkiri sedikitpun oleh orang yang mempergunakan akal. Orang yang tidak beriman kepada wahyu, mungkin keberatan menamainya Malaikat, sebab itu setentah menamainya tenaga alam atau Natuurkrachten tetapi sudah nyata bahwa mereka tidak dapat memungkiri dengan akal sehat akan adanya makhluk itu, yang di dalam agama dinamai Malaikat. Namun hakikatnya hanyalah satu. Adapun orang yang berakal tidaklah nama-nama itu mendindingnya buat sampai kepada yang dinamai."
Demikianlah sedikit penjelasan tentang Malaikat. Kemudian kita teruskan lanjutan ayat.
Setelah itu Allah pun rnelanjutkan apa yang telah Dia tentukan, ya.itu menciptaka.n khalifah itu; itulah Adam.
وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
"Dan telah diajarkanNya kepada Adam nama-namanya semuanya. " (pangkal ayat 31).
Artinya diberilah oleh Allah kepada Adam itu semua ilmu:

ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
Kemudian Dia kemukakan semuanya kepada Malaikat. lalu Dia berfirman : Beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jika adalah kamu makhluk­makhluk yang benar.'-
(ujung ayat 31).
Tafsir
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Zhahara al-fasâd fî al-barr wa al-bahr (Telah tampak kerusakan di darat dan di laut). Dalam bahasa Arab, kata al-fasâd kebalikan dari al-shalâh (kebaikan)[1]. Segala sesuatu yang tidak terkagori sebagai kebaikan dapat dimasukkan ke dalam al-fasâd.
Berkaitan dengan kata al-fasâd dalam ayat ini, para mufassir berusaha mendeskripsikan kerusakan yang dimaksud. Al-Biqa’i menjelaskannya sebagai berkurangnya semua yang bermanfaat bagi makhluk[2]. Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, fasâd adalah kekurangan hujan dan sedikitnya tanaman[3]. Al-Nasafi memberikan contoh berupa terjadinya paceklik; minimnya hujan, hasil panen dalam pertanian, dan keuntungan dalam perdagangan; terjadinya kematian pada manusia dan hewan; banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam; dan dicabutnya berkah dari segala sesuatu[4].
Selain keadaan tersebut, fasâd juga digambarkan az-Zamakhsyari dan al-Alusi dengan kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat, dan banyaknya madarat[5].
Jika dicermati, penjelasan beberapa mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana ditegaskan asy-Syaukani, at-ta’rîf (bentuk ma’rifah) pada kata al-fasâd menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Artinya, kata tersebut mencakup semua jenis kerusakan yang ada di daratan maupun di lautan[6]. Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moral, alam, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.
Demikian pula kata al-barr dan kata al-bahr. Huruf al-alif wa al-lâm pada kedua kata itu memberikan makna li al-jins[7] sehingga menunjukkan makna semua daratan dan semua lautan. Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian bahwa telah tampak dengan jelas semua jenis kerusakan di seluruh muka bumi, baik di daratan maupun lautan.
Berbagai kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Pangkal penyebabnya disebutkan dalam firman Allah Swt. berikutnya: bimâ kasabat aydî al-nâs (disebabkan oleh perbuatan tangan manusia). Menurut ayat ini, pangkal penyebab semua kerusakan di seluruh muka bumi itu adalah ulah perbuatan manusia. Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Jazairi menafsirkannya: bi zhulmihim wa kufrihim wa fisqihim wa fujûrihim (karena kezaliman, kekufuran, kefasikan dan kejahatan mereka). Al-Baghawi menyebutnya bi syu’ dzunûbihim karena keburukan dosa-dosa mereka).[8] Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir memaknainya bi sabab al-ma’âshî (karena kemaksiatan-kemaksiatan)[9] Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan bi sabab ma’âshîhim wa dzunûbihim (karena perbuatan maksiat dan dosa mereka).[10]
Meskipun dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi, al-Nasafi, al-Khazin, dan al-Shabuni.[11] Menurut al-Alusi, kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian sendiri (QS asy-Syura [42]: 30).
Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap ketentuan syariah-Nya.
Kemudian Allah Swt. berfirman: liyudzîqahum ba’dha al-ladzî ‘amilû (supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka). Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa frasa ini memberikan pengertian: Agar Dia menimpakan kepada mereka hukuman atas sebagian perbuatan dan kemaksiatan yang mereka lakukan[12]. Al-Baghawi juga mengatakan bahwa itu adalah hukuman atas sebagian dosa yang telah mereka kerjakan.[13] Pendek kata, kerusakan yang timbul akibat kemaksiatan dan kemungkaran itu merupakan hukuman bagi pelakunya di dunia sebelum mereka mendapat hukuman di akhirat.[14]
Patut dicatat, hukuman di dunia itu, betapa pun dahsyatnya, sesungguhnya masih baru sebagian. Sebab, kata ba’dha al-ladzî ‘amilû menunjukkan, azab yang mereka rasakan saat ini belum seluruhnya. Azab secara keseluruhan akan ditimpakan kepada pelakunya kelak di akhirat.[15] Meski begitu, kerusakan yang kasatmata itu seharusnya menyadarkan mereka untuk bertobat. Allah Swt. berfirman: la’allahum yarji’ûna (agar mereka kembali [ke jalan yang benar]).
Kata yarji’ûna berarti bertobat. Demikian penafsiran banyak mufassir, seperti al-Hasan sebagaimana dikutip ath-Thabari dan asy-Syaukani.[16] Tobat tersebut dilakukan dengan menyesali kesalahannya, berhenti dari segala kemaksiatan, dan kembali taat pada ketentuan syariah-Nya.

Kemaksiatan dan Kerusakan
Telah maklum, dunia kini sedang dilanda krisis ekonomi. Meningkatnya pengangguran, banyaknya perusahaan yang bangkrut dan gulung tikar, meluasnya kemiskinan, anjloknya daya beli masyarakat, dan berbagai dampak ikutan lainnya telah menjadi ancaman yang mencemaskan bagi dunia. Meskipun berbagai langkah telah ditempuh untuk mengatasinya, hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda berhasil. Kalaupun suatu saat tampak reda, itu hanyalah bersifat sementara. Krisis yang sama, bahkan lebih besar akan kembali berulang.
Bagi kaum Muslim, semestinya tidak sulit mengurai persoalan tersebut. Sebab, ayat ini telah memberikan panduan amat jelas dalam memandang dan menyikapi setiap kerusakan yang terjadi di muka bumi. Ada dua perkara penting dari ayat ini yang patut dijadikan sebagai patokan ketika melihat kerusakan.
Pertama: pangkal penyebab kerusakan. Menurut ayat ini, penyebab semua kerusakan tersebut adalah ulah tangan manusia (bimâ kasabat aydî al-nâs). Sebagaimana dijelaskan para mufassir, ulah tangan manusia yang dimaksud adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa manusia. Pelanggaran manusia terhadap dînul-Lâh, baik akidah maupun syariah, itulah yang menjadi penyebab kerusakan. Kesimpulan ini kian jelas jika dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, serta nash-nash lainnya.
Dalam ayat sebelumnya, diberitakan bahwa manusia itu diciptakan Allah Swt. Dia pula yang memberikan rezeki, mematikan, dan menghidupkan manusia. Tidak ada andil sedikit pun dari sesembahan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan (lihat QS al-Rum [30]: 40).
Di samping mengandung berita, ayat tersebut juga bermakna celaan bagi orang-orang musyrik. Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, aspek hubungan tersebut dengan sesudahnya (ayat 41), bahwa syirik merupakan sebab kerusakan.[17] Dalam ayat sesudahnya (ayat 42) manusia diperintahkan untuk memperhatikan kesudahan kaum yang menyekutukan-Nya. Akibat buruk yang dialami kaum musyrik sebelumnya kian mengukuhkan bahwa kerusakan yang merata di daratan dan di lautan itu disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran. Tak aneh jika Qatadah dan as-Sudi pun menafsirkan kata fasâd dalam ayat ini sebagai syirik.[18]
Kekufuran dan kemusyrikan merupakan kemaksiatan terbesar. Kesesatan akidah inilah yang melahirkan, memproduksi, dan membawa berbagai kemaksiatan lainnya. Tak berlebihan jika kekufuran dan kemusyrikan disebut sebagai biang utama kerusakan. Kerusakan yang disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran itu juga dapat dijumpai dalam ayat lain (Lihat, misalnya, QS Maryam [19]: 89-91).
Di samping kekufuran dan kemusyrikan, ada beberapa kemaksiatan lainnya yang disebutkan secara spesifik dapat menyebabkan kehancuran masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Jika zina dan riba telah tampak di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah (HR ath-Thabrani dan al-Hakim).
Oleh karena kekufuran, kemaksiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya kerusakan, tidak jarang al-Quran pun menyebut semua tindakan itu dengan kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS al-Baqarah [2]: 11, misalnya, mengandung makna sebagai larangan berlaku kufur, syirik, dan maksiat.
Kedua: solusi atas kerusakan yang terjadi. Frasa penutup ayat ini mengisyaratkan, solusi satu-satunya agar kerusakan di muka bumi tidak berlanjut adalah kembali pada syariah-Nya. Sebab, pangkal penyebab terjadinya semua kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dan dosa. Karena itu, untuk menghentikannya pun dengan cara berhenti dari maksiat, selanjutnya berjalan sesuai dengan tuntunan syariah. Selama kemaksiatan terus berjalan, jangan berharap pula kerusakan bisa berhenti.
Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk disimak pemaparan Abu al-Aliyah yang dikutip Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi, sungguh dia telah melakukan kerusakan di muka bumi. Sebab, baiknya bumi dan langit disebabkan karena ketaatan. Oleh karena itu, dalam hadis yang diriwayatkan Abu Daw dinyatakan:
لَحَدٌّ يقَامُُ بِهِ فِي اْلأَرْضِ أََحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
Sungguh hukum hudûd yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai penduduknya daripada mereka diguyur hujan selama empat puluh pagi).
Hal itu karena jika hudûd ditegakkan dapat membuat manusia—sebagian besar atau kebanyakan manusia—meninggalkan perbuatan yang diharamkan. Sebaliknya, jika manusia melakukan maksiat, maka itu menjadi sebab bagi lenyapnya berkah dari langit dan bumi.[19]
Berhenti dari maksiat dan kembali pada syariah Islam itu haruslah secara total. Jika belum total, berarti masih ada ruang bagi mereka dalam maksiat.
Patut ditegaskan, syariah Islam bersifat sempurna, mengatur totalitas aspek kehidupan manusia (lihat QS al-Nahl [16]: 86, al-Maidah [5]: 3). Syariah mengatur seluruh hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya; maupun sesamanya. Di samping berisi hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak; syariah juga memberikan sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, pidana, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib diterapkan. Jika itu dikerjakan, kerusakan akan lenyap, berganti dengan kehidupan penuh berkah (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).
Sekularisme-Kapitalisme: Biang Krisis
Tak dapat dipungkiri, dunia kini sedang dicengkeram ideologi sekularisme. Ideologi ini telah melahirkan berbagai paham dan sistem yang merusak kehidupan. Dalam penetapan baik-buruk, ideologi ini mendasarkan pada asas manfaat material (materialisme), bahkan oleh selera dan kesenangan (hedonisme). Ketika paham itu mendominasi, apalagi ditetapkan dalam institusi negara, sudah pasti ia menyebabkan kerusakan. (Lihat: QS al-Mukminun [23]: 71).
Dalam sistem pergaulan, ideologi ini menuhankan kebebasan (freedom). Sebagai konsekuensinya, pornografi, free sex, dan homoseksual dianggap sebagai kewajaran; bukan sebagai kejahatan yang harus diberantas. Perilaku amoral itu pun memunculkan aneka masalah, mulai dari merebaknya penyakit kelamin, HIV/AIDS, aborsi, runtuhnya bangunan rumah tangga hingga meningkatnya kriminalitas.
Dalam ekonomi, ideologi ini melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi ini menjadikan riba, pasar saham, pemberlakuan mata uang kertas, dan kebebasan kepemilikan sebagai pilarnya; yang semaunya melanggar syariah. Faktanya, semua pilar itu menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi global. Ketamakan sistem ekonomi juga menyebabkan kerusakan alam yang amat parah. Nyatalah, kerusakan global tidak akan bisa diatasi kecuali mengubah sistemnya secara total: dari Sekularisme-Kapitalisme menuju Islam, di bawah naungan Daulah Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Referensi
1.      Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),
2.      Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),
3.      Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
4.      Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),
5.      Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),
6.      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
7.      An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001),
8.      Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996)
9.      As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
10.  Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),
11.  Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992),
12.  Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;
13.  Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 25 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990),
14.  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000)
15.  Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 3 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).



[1] Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 3 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).
[2] Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 631.
[3] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 417; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 393,
[4] An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 31.
[5] Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
[6] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 284.
[7] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
[8] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417
[9] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 1438.
[10] Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360.
[11] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2, 31; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3, 393; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 442.
[12] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 192.
[13] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 418.
[14] Penjelasan demikian bisa dilihat dalam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4, ; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48.
[15] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417.
[16] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10, 192; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 284.

[17] Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 25 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 112.
[18] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 28

[19] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3, 1438.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar