TAFSIR AYAT 30 - 33
Malaikat
Dan Khalifah
Dengan dua ayat berturut-turut, yaitu ayat 28 dan 29
perhatian kita Insan ini disadarkan oleh Tuhan. Pertama, bagaimana kamu akan
kufur kepada Allah, padahal dari mati kamu Dia hidupkan.Kemudian Dia matikan,
setelah itu akan dihidupkanNya kembali untuk memperhitungkan amal.
Bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal seluruh isi
bumi telah disediakan untuk kamu. Lebih dahulu persediaan untuk menerima
kedatanganmu di bumi telah disiapkan, bahkan dari amar periatah kepada ketujuh
langit sendiri. Kalau demikian adanya, pikirkanlah siapa engkau ini. Buat apa
kamu diciptakan. Kemudian datanglah ayat khalifah.
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ
إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَة
"Dan
(ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. " (pangkal ayat 30).
Sebelum kita teruskan menafsirkan ayat ini, terlebih dahulu
haruslah dengan segala kerendahan hati dan iman kita pegang apa yang telah
dipimpinkan Tuhan pada ayat yang tiga di permulaan sekali, yaitu tentang
percaya kepada yang ghaib.
Tuhan telah menyampaikan dengan Wahyu kepada UtusanNya bahwa
Tuhan pernah bersabda kepada Malaikat bahwa Tuhan hendak mengangkat seorang
khalifah di bumi. Maka terjadilah semacam soal jawab di antara Tuhan dengan
Malaikat. bagaimana duduknya dan di mana tempatnya bila waktunya soal jawab itu
? Tidaklah layak hendak kita kaji sampai ke sana.
Ada dua macam cara Ulama-ulama ikutan kita menghadapi wahyu
mi. Pertama ialah Mazhab Salaf. Mereka menerima berita wahyu itu dengan tidak
bertanya-tanya dan berpanjang soal.
Tuhan Allah telah berkenan menceritakan dengan wahyu tentang
suatu kejadian di dalam alam ghaib, dengan kata yang dapat kita pahamkan,
tetapi akal kita tidak mempunyai daya upaya buat masuk lebih dalam ke dalam
arena ghaib itu. Sebab itu kita terima dia dengan sepenuh iman.
Cara yang kedua ialah penafsiran secara Khalaf, yaitu secara
Ulama-Ulama yang datang kemudian. Yaitu dipakai penafsiranpenafsiran yang
masuk akal, tetapi tidak melampaui garis yang layak bagi kita sebagai makhluk.
Berdasar kepada ini, maka Mazhab Khalaf berpendapat
bahwasanya apa yang dihikayatkan Tuhan ini niscaya tidak sebagai yang kita
pikirkan. Niscaya pertemuan Allah dengan MalaikatNya itu tidak terjadi di satu
tempat; karena kalau terjadi di satu tempat, tentu bertempatlah Allah Ta'ala.
Dan bukanlah Malaikat itu berhadap hadapan duduk bermuka.-muka dengan Allah.
Karena kalau demikian tentulah sama kedudukan mereka, rnalaikat sebagai makhluk,
Allah sebagai Khaliq.
Menurut penyelidikan perkembangan iman dan agama dan
perbandingannya dengan Filsafat, betapapun modernnya filsafat itu, maka mazhab
khalajia.h yang lebih menenteramkan iman, dan kesanalah tujuan kepercayaan .
Umumnya Filosof yang mukmin penganut mazhab Khalaf, seumparna filosof muslim
yang besar Ibnu Rusyd. Demikian majunya dalam alarn filsafat, namun berkenaan
dengan soal-soal ghaib, dia menjadi orang Khalaf yang tenteram dengan
pendiriannya.
Imam Ghazali, dia berselisih tentang hukum akal. Bagi dia api
wajib menghangusi , air membasahi. Tidak mungkin tidak begitu. Tetapi jika
ditanyakan tentang Nabi Ibrahim a. s. tidak hangus dibakar api, dia menjawab
bahwa hal begitu tidaklah tugas filsafat. Itu adalah tempat iman. "Sebagai
Muslim saya percaya,"katanya.
Pelopor Filsafat Modern, yaitu Emmanuel Kant, dalam hal
kepercayaan dia seakan-akan penganut dari mazhab Khalaf. Dia pernah berkata :
"Betapapun kemajuan saya dalam berpikir, namun saya mengosongkan sesudut
dari jiwa saya buat percaya
Sekarang kita teruskan:
Maka nampaklah di pangkal ayat, Tuhan telah bersabda kepada
Malaikat menyatakan
rnaksud hendak mengangkat seorang khalifah di bumi ini.
قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ
"Mereka berkata: Apakah Engkau hendak menjadikan
padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami
bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau?
Artinya setelah Allah menyatakan maksudNya itu, maka
Malaikatpun mohon penjelasan, khalifah manakah lagi yang dikehendaki oleh Tuhan
hendak menjadikan?.
Di dalam ayat terbayanglah oleh kita bahwa Malaikat, sebagai
makhluk Ilahi, yang tentu saja pengetahuannya tidak seluas pengetahuan Tuhan,
meminta penjelasan, bagaimana agaknya corak khalifah itu ? Apakah tidak mungkin
terjadi dengan adanya khalifah, kerusakan yang akan timbul dan penumpahan
darahlah yang akan terjadi ? Padahal alam dengan kudrat iradat Allah Ta'ala
telah tenteram, sebab mereka, malaikat, telah diciptakan Tuhan sebagai makhluk
yang patuh, tunduk,taat,dan setia. Bertasbih, bersembahyang mensucikan nama
Allah.
Rupanya ada sedikit pengetahuan dari malaikat-malaikat itu
bahwasanya yang akan diangkat menjadi khalifah itu ialah satu jenis makhluk.
Dalam jalan pendapat malaikat, bilamana jenis makhluk itu telah ramai, mereka
akan berebut-rebut kepentingan di antara satu sama lain.
Kepentingan satu orang atau satu golongan bertumbuk dengan
satu orang atau satu golongan yang lain, maka beradulah yang keras timbullah
pertentangan dan dengan demikian timbullah kerusakan bahkan akan timbul juga
pertumpahan darah. Dengan demikian ketenteraman yang telah ada dengan adanya
makhluk, malaikat yapg patuh, taat dan setia, menjadi hilang.
Pertanyaan dan kemusykilan itu dijawab oleh Tuhan.
قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
"Sesungguhnya
Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. " (ujung ayat 30).
Artinya, dengan-jawaban itu, Allah Ta'ala tidak membantah pendapat dari MalaikatNya, cuma menjelaskan bahwasanya pendapat dan ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Bukanlah Tuhan memungkiri bahwa kerusakanpun akan timbul dan darahpun akan tertumpah tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari itu, sehingga kerusakan hanyalah sebagai pelengkap saja dan pembangunan dan pertumpahan darah hanyalah satu tingkat perjalanan hidup saja di dalam menuju kesempurnaan.
Artinya, dengan-jawaban itu, Allah Ta'ala tidak membantah pendapat dari MalaikatNya, cuma menjelaskan bahwasanya pendapat dan ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Bukanlah Tuhan memungkiri bahwa kerusakanpun akan timbul dan darahpun akan tertumpah tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari itu, sehingga kerusakan hanyalah sebagai pelengkap saja dan pembangunan dan pertumpahan darah hanyalah satu tingkat perjalanan hidup saja di dalam menuju kesempurnaan.
Dalam
jawaban Tuhan yang dernikian, Malaikatpun menerimalah dengan penuh khusyu dan
taat.
Sekarang
kita uraikan terlebih dahulu tentang, apa atau siapakah Malaikat itu ?
Malaikat untuk banyak dan Malak untuk satu.
Malaikat untuk banyak dan Malak untuk satu.
Tuhan
menyebut di dalam al-Qur'an tentang adanya makhluk Allah bernama Malaikat.
Disebutkan pekerjaan atau tugas mereka, ada yang mencatat amalan makhluk setiap
hari, dan mencatat segala ucapan, ada yang membawa wahyu kepada Rasul-rasul dan
Nabi-nabi, ada yang menjadi duta-duta (safarah) yang memelihara al-Qur'an, ada
yang memikul Arsy Tuhan, ada yang menjaga surga dan yang menjaga neraka, dan
ada yang siang dan malam berdoa, memuji-muji Allah dan bersujud, dan ada pula
yang mendoakan agar makhluk yang taat diberi ampun dosanya oleh Tuhan. Dan
banyak lagi yang lain.
Tetapi
Tuhan Allah tidak menyebutkan dari bahan apa Malaikat itu dijadikan. Dan
tersebut juga bahwa ada Malaikat itu yang menyatakan dirinya, sebagai yang
datang membawakan Ilham kepada Maryam bahwa dia akan diberi putra, atau yang
kelihatan oleh Nabi kita Muhammad s.a.w seketika beliau mula-mula menerima
wahyu. Dan disebut juga ada Malaikat itu yang bersayap, dua-dua, tiga-tiga, dan
empat-empat.
Orang-orang di jaman
jahiliyah mencoba menggambarkan Malaikat itu sebagai manusia dan merekapun
menentukan jenisnya; yaitu perempuan. Ini dibantah keras oleh al-Qur'an. Maka
tidaklah pantas makhluk gaib itu ditentukan kelamin jantan atau betinanya.
Tersebut pula bahwa
Malaikat yang datang membawa wahyu kepada Rasul-rasul itu namanya Jibril, dan
disebut juga Ruhul-Arnin, dan disebut juga Ruhul-Qudus. Tetapi manusia yang
beriman dan Istiqomah (tetap hati) di dalam Iman kepada Allah, juga akan
didatangi oleh Malaikat-malaikat, untuk menghilangkan rasa takut dan dukacita
mereka. Dan di dalam peperangan Badar Malaikat itupun datang, sampai 3.000
banyaknya.
Seperti
itulah yang tersebut dalam al-Qur'an. Dan dijelaskan pula oleh hadits-hadits
bahwa Malaikat-malaikat itu memberikan ilham yang baik kepada manusia, dan
menimbulkan keteguhan semangat dan iman. Sebagai juga tersebut di dalam hadits
bahkan di dalam alQur'an sendiri bahwa setan, sebaliknya dari Malaikat, selalu
membawa ilham buruk dan was-was kepada manusia. Tetapi ketika orang diberi
ilham baik oleh Malaikat atau was-was buruk oleh setan maka yang menerima ilham
atau was-was itu bukanlah badan kasar, melainkan roh manusia.
Tidaklah ada orang yang nampak dengan matanya seketika Malaikat atau setan datang memberinya ilham atau was-was melainkan masuk pengaruhnya ke dalam jiwa atau perasaan orang itu. Ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi, an-Nasa' i dan Ibnu Hibban, demikian bunyinya :
"Sesungguhnya dari setan ada semacam
gangguan kepada anak Adam, dan dari Malaikatpun ada pula. Adapun gangguan setan
ialah menjanjikan kejahatan dan mendustakan kebenaran, dan sentuhan Malaikat
ialah menjanjikan kebaikan dan menerima kebenaran.Maka siapa yang merasai yang
demikian, hendaklah dia mengetahui bahwa perkara itu dari Allah, dan
berterima-kasihlah dia kepadaNya.Tetapi kalau didapatnya lain, hendaklah dia
berlindung kepada Allah dari setan. (Kemudian dibacanya ayat yang artinya :
"Setan menyuruh menjanjikan melarat untukmu dan menyuruhmu berbuat yang
keji-keji. '
Turmidzi
mengatakan hadits ini hasan gharib.
Syaikh
Muhammad Abduh seketika menafsirkan ayat ini berkata:
"Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa di
dalam batin segala yang tercinta ini memang tersembunyi kekuatan-kekuatan besar
yang menjadi sendi dari kekuatan dan kerapiannya, yang tidak mungkin dipungkiri
sedikitpun oleh orang yang mempergunakan akal. Orang yang tidak beriman kepada
wahyu, mungkin keberatan menamainya Malaikat, sebab itu setentah menamainya
tenaga alam atau Natuurkrachten tetapi sudah nyata bahwa mereka tidak dapat
memungkiri dengan akal sehat akan adanya makhluk itu, yang di dalam agama
dinamai Malaikat. Namun hakikatnya hanyalah satu. Adapun orang yang berakal
tidaklah nama-nama itu mendindingnya buat sampai kepada yang dinamai."
Demikianlah sedikit penjelasan tentang Malaikat. Kemudian
kita teruskan lanjutan ayat.
Setelah itu Allah pun rnelanjutkan apa yang telah Dia tentukan, ya.itu menciptaka.n khalifah itu; itulah Adam.
Setelah itu Allah pun rnelanjutkan apa yang telah Dia tentukan, ya.itu menciptaka.n khalifah itu; itulah Adam.
وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ
كُلَّهَا
"Dan
telah diajarkanNya kepada Adam nama-namanya semuanya. " (pangkal ayat 31).
Artinya
diberilah oleh Allah kepada Adam itu semua ilmu:
ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
Kemudian Dia kemukakan semuanya kepada Malaikat. lalu Dia
berfirman : Beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jika adalah kamu makhlukmakhluk
yang benar.'-
(ujung ayat 31).
(ujung ayat 31).
Tafsir
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan
manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Tafsir Ayat
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Zhahara al-fasâd fî al-barr wa
al-bahr (Telah tampak kerusakan di darat dan di laut). Dalam bahasa Arab,
kata al-fasâd kebalikan dari al-shalâh (kebaikan)[1].
Segala sesuatu yang tidak terkagori sebagai kebaikan dapat dimasukkan ke
dalam al-fasâd.
Berkaitan dengan kata al-fasâd dalam ayat ini, para
mufassir berusaha mendeskripsikan kerusakan yang dimaksud. Al-Biqa’i
menjelaskannya sebagai berkurangnya semua yang bermanfaat bagi makhluk[2].
Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, fasâd adalah kekurangan hujan dan
sedikitnya tanaman[3].
Al-Nasafi memberikan contoh berupa terjadinya paceklik; minimnya hujan, hasil
panen dalam pertanian, dan keuntungan dalam perdagangan; terjadinya kematian
pada manusia dan hewan; banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam; dan
dicabutnya berkah dari segala sesuatu[4].
Selain keadaan tersebut, fasâd juga digambarkan az-Zamakhsyari
dan al-Alusi dengan kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat,
dan banyaknya madarat[5].
Jika
dicermati, penjelasan beberapa mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian
yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan
hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana ditegaskan
asy-Syaukani, at-ta’rîf (bentuk ma’rifah) pada kata al-fasâd
menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Artinya, kata tersebut
mencakup semua jenis kerusakan yang ada di daratan maupun di lautan[6].
Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moral,
alam, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.
Demikian pula kata al-barr dan
kata al-bahr. Huruf al-alif wa al-lâm pada kedua kata itu memberikan
makna li al-jins[7]
sehingga menunjukkan makna semua daratan dan semua lautan. Dengan demikian,
ayat ini memberikan pengertian bahwa telah tampak dengan jelas semua jenis
kerusakan di seluruh muka bumi, baik di daratan maupun lautan.
Berbagai kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Pangkal
penyebabnya disebutkan dalam firman Allah Swt. berikutnya: bimâ kasabat aydî
al-nâs (disebabkan oleh perbuatan tangan manusia). Menurut ayat ini,
pangkal penyebab semua kerusakan di seluruh muka bumi itu adalah ulah perbuatan
manusia. Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud
adalah perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Jazairi menafsirkannya: bi zhulmihim wa kufrihim wa
fisqihim wa fujûrihim (karena kezaliman, kekufuran, kefasikan dan kejahatan
mereka). Al-Baghawi menyebutnya bi syu’ dzunûbihim karena keburukan
dosa-dosa mereka).[8]
Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir memaknainya bi sabab al-ma’âshî (karena
kemaksiatan-kemaksiatan)[9]
Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan bi sabab ma’âshîhim wa dzunûbihim
(karena perbuatan maksiat dan dosa mereka).[10]
Meskipun dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi,
al-Nasafi, al-Khazin, dan al-Shabuni.[11]
Menurut al-Alusi, kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Musibah
apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian sendiri (QS asy-Syura [42]: 30).
Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab
terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan
manusia terhadap ketentuan syariah-Nya.
Kemudian Allah Swt. berfirman: liyudzîqahum ba’dha
al-ladzî ‘amilû (supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari
[akibat] perbuatan mereka). Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa
frasa ini memberikan pengertian: Agar Dia menimpakan kepada mereka hukuman
atas sebagian perbuatan dan kemaksiatan yang mereka lakukan[12].
Al-Baghawi juga mengatakan bahwa itu adalah hukuman atas sebagian dosa yang
telah mereka kerjakan.[13]
Pendek kata, kerusakan yang timbul akibat kemaksiatan dan kemungkaran itu
merupakan hukuman bagi pelakunya di dunia sebelum mereka mendapat hukuman di
akhirat.[14]
Patut dicatat, hukuman di dunia itu, betapa pun dahsyatnya,
sesungguhnya masih baru sebagian. Sebab, kata ba’dha al-ladzî ‘amilû
menunjukkan, azab yang mereka rasakan saat ini belum seluruhnya. Azab secara
keseluruhan akan ditimpakan kepada pelakunya kelak di akhirat.[15]
Meski begitu, kerusakan yang kasatmata itu seharusnya menyadarkan mereka untuk
bertobat. Allah Swt. berfirman: la’allahum yarji’ûna (agar mereka
kembali [ke jalan yang benar]).
Kata yarji’ûna berarti bertobat. Demikian penafsiran
banyak mufassir, seperti al-Hasan sebagaimana dikutip ath-Thabari dan
asy-Syaukani.[16]
Tobat tersebut dilakukan dengan menyesali kesalahannya, berhenti dari segala
kemaksiatan, dan kembali taat pada ketentuan syariah-Nya.
Kemaksiatan dan Kerusakan
Telah maklum, dunia kini sedang dilanda krisis ekonomi.
Meningkatnya pengangguran, banyaknya perusahaan yang bangkrut dan gulung tikar,
meluasnya kemiskinan, anjloknya daya beli masyarakat, dan berbagai dampak
ikutan lainnya telah menjadi ancaman yang mencemaskan bagi dunia. Meskipun
berbagai langkah telah ditempuh untuk mengatasinya, hingga kini belum
menunjukkan tanda-tanda berhasil. Kalaupun suatu saat tampak reda, itu hanyalah
bersifat sementara. Krisis yang sama, bahkan lebih besar akan kembali berulang.
Bagi kaum Muslim, semestinya tidak sulit mengurai persoalan
tersebut. Sebab, ayat ini telah memberikan panduan amat jelas dalam memandang
dan menyikapi setiap kerusakan yang terjadi di muka bumi. Ada dua perkara
penting dari ayat ini yang patut dijadikan sebagai patokan ketika melihat
kerusakan.
Pertama:
pangkal penyebab kerusakan. Menurut ayat ini, penyebab semua kerusakan tersebut
adalah ulah tangan manusia (bimâ kasabat aydî al-nâs). Sebagaimana
dijelaskan para mufassir, ulah tangan manusia yang dimaksud adalah kemaksiatan
dan perbuatan dosa manusia. Pelanggaran manusia terhadap dînul-Lâh, baik
akidah maupun syariah, itulah yang menjadi penyebab kerusakan. Kesimpulan ini
kian jelas jika dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, serta nash-nash
lainnya.
Dalam ayat sebelumnya, diberitakan bahwa manusia itu
diciptakan Allah Swt. Dia pula yang memberikan rezeki, mematikan, dan
menghidupkan manusia. Tidak ada andil sedikit pun dari sesembahan orang-orang
yang menyekutukan-Nya. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan (lihat
QS al-Rum [30]: 40).
Di samping mengandung berita, ayat tersebut juga bermakna
celaan bagi orang-orang musyrik. Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, aspek hubungan
tersebut dengan sesudahnya (ayat 41), bahwa syirik merupakan sebab kerusakan.[17]
Dalam ayat sesudahnya (ayat 42) manusia diperintahkan untuk memperhatikan
kesudahan kaum yang menyekutukan-Nya. Akibat buruk yang dialami kaum musyrik
sebelumnya kian mengukuhkan bahwa kerusakan yang merata di daratan dan di
lautan itu disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran. Tak aneh jika Qatadah dan
as-Sudi pun menafsirkan kata fasâd dalam ayat ini sebagai syirik.[18]
Kekufuran dan kemusyrikan merupakan kemaksiatan terbesar.
Kesesatan akidah inilah yang melahirkan, memproduksi, dan membawa berbagai
kemaksiatan lainnya. Tak berlebihan jika kekufuran dan kemusyrikan disebut
sebagai biang utama kerusakan. Kerusakan yang disebabkan oleh kemusyrikan dan
kekufuran itu juga dapat dijumpai dalam ayat lain (Lihat, misalnya, QS Maryam
[19]: 89-91).
Di samping kekufuran dan kemusyrikan, ada beberapa kemaksiatan
lainnya yang disebutkan secara spesifik dapat menyebabkan kehancuran
masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي
قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Jika
zina dan riba telah tampak di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah
menghalalkan diri mereka dari azab Allah (HR ath-Thabrani dan al-Hakim).
Oleh
karena kekufuran, kemaksiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya
kerusakan, tidak jarang al-Quran pun menyebut semua tindakan itu dengan
kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS
al-Baqarah [2]: 11, misalnya, mengandung makna sebagai larangan berlaku kufur,
syirik, dan maksiat.
Kedua:
solusi atas kerusakan yang terjadi. Frasa penutup ayat ini mengisyaratkan,
solusi satu-satunya agar kerusakan di muka bumi tidak berlanjut adalah kembali
pada syariah-Nya. Sebab, pangkal penyebab terjadinya semua kerusakan di muka
bumi adalah perbuatan maksiat dan dosa. Karena itu, untuk menghentikannya pun
dengan cara berhenti dari maksiat, selanjutnya berjalan sesuai dengan tuntunan
syariah. Selama kemaksiatan terus berjalan, jangan berharap pula kerusakan bisa
berhenti.
Berkaitan
dengan hal ini, menarik untuk disimak pemaparan Abu al-Aliyah yang dikutip Ibnu
Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi,
sungguh dia telah melakukan kerusakan di muka bumi. Sebab, baiknya bumi dan
langit disebabkan karena ketaatan. Oleh karena itu, dalam hadis yang
diriwayatkan Abu Daw dinyatakan:
لَحَدٌّ يقَامُُ بِهِ فِي اْلأَرْضِ
أََحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
Sungguh
hukum hudûd yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai penduduknya daripada
mereka diguyur hujan selama empat puluh pagi).
Hal itu karena jika hudûd ditegakkan dapat membuat
manusia—sebagian besar atau kebanyakan manusia—meninggalkan perbuatan yang
diharamkan. Sebaliknya, jika manusia melakukan maksiat, maka itu menjadi sebab
bagi lenyapnya berkah dari langit dan bumi.[19]
Berhenti
dari maksiat dan kembali pada syariah Islam itu haruslah secara total. Jika
belum total, berarti masih ada ruang bagi mereka dalam maksiat.
Patut ditegaskan, syariah Islam bersifat sempurna, mengatur
totalitas aspek kehidupan manusia (lihat QS al-Nahl [16]: 86, al-Maidah [5]:
3). Syariah mengatur seluruh hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya;
maupun sesamanya. Di samping berisi hukum-hukum tentang ibadah, makanan,
pakaian, dan akhlak; syariah juga memberikan sistem pemerintahan, ekonomi,
pendidikan, politik luar negeri, pidana, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib
diterapkan. Jika itu dikerjakan, kerusakan akan lenyap, berganti dengan
kehidupan penuh berkah (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).
Sekularisme-Kapitalisme: Biang Krisis
Tak dapat dipungkiri, dunia kini sedang dicengkeram ideologi
sekularisme. Ideologi ini telah melahirkan berbagai paham dan sistem yang
merusak kehidupan. Dalam penetapan baik-buruk, ideologi ini mendasarkan pada
asas manfaat material (materialisme), bahkan oleh selera dan kesenangan
(hedonisme). Ketika paham itu mendominasi, apalagi ditetapkan dalam institusi
negara, sudah pasti ia menyebabkan kerusakan. (Lihat: QS al-Mukminun [23]: 71).
Dalam sistem pergaulan, ideologi ini menuhankan kebebasan (freedom).
Sebagai konsekuensinya, pornografi, free sex, dan homoseksual dianggap
sebagai kewajaran; bukan sebagai kejahatan yang harus diberantas. Perilaku
amoral itu pun memunculkan aneka masalah, mulai dari merebaknya penyakit
kelamin, HIV/AIDS, aborsi, runtuhnya bangunan rumah tangga hingga meningkatnya
kriminalitas.
Dalam ekonomi, ideologi ini melahirkan sistem ekonomi
Kapitalisme. Sistem ekonomi ini menjadikan riba, pasar saham, pemberlakuan mata
uang kertas, dan kebebasan kepemilikan sebagai pilarnya; yang semaunya
melanggar syariah. Faktanya, semua pilar itu menjadi penyebab terjadinya krisis
ekonomi global. Ketamakan sistem ekonomi juga menyebabkan kerusakan alam yang
amat parah. Nyatalah, kerusakan global tidak akan bisa diatasi kecuali mengubah
sistemnya secara total: dari Sekularisme-Kapitalisme menuju Islam, di bawah
naungan Daulah Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah.
Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. []
Referensi
1. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr
al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),
2. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.
11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),
3. Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
4. Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.
5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),
5. Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi
Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),
6. Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
7. An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa
Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001),
8. Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol.
2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996)
9. As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol.
4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
10. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol.
4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),
11. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992),
12. Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;
13. Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb,
vol. 25 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990),
14. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000)
15. Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol.
3 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).
[3]
Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 417; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl
fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 393,
[4]
An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa
Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 31.
[5]
Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî,
vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
[10]
Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol.
3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360.
[11]
Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.
11, 48; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol.
2, 31; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3, 393;
ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996),
442.
[12] Ath-Thabari,
Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1992), 192.
[14]
Penjelasan demikian bisa dilihat
dalam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4, ;
al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar