What do you things about it??? ,....
pasti aneh ,.... terkesan ababil (anak baru gede labil ) banget,....
each,....kebanyakan temen" gitu,.. tpi mnurutku emang bener,... hahaha :)
nama tersebut semula hanya iseng"an ku saja,....
nama yang ku dapat di pertengahan kuliah semester awal an,...,
Eah inget dulu waktu SD/MI pernah di julukin ES LILIN karna temen sebangku qw dulu kebetulan bernama Esti, dan qw Nailin,... hahha jadilah Es Lilin.
dan over all manggil gw lin yang terkesan sangat akrab banget dan gw sebenernya nyaman menyandang gelar Lin,...wkakakakkk gelar kayak jabatan aja,.. hoho,...
Dan Lin itu pertanda bahwa orang yang dipanggil pembeda diantara nailin dan naili,... secara yang namanya naili itu saat itu jauh banget dengan standart nailin yang acak adut, kagak ada rapi-rapinya sama sekali, ingusan, gembel-udik, upilan, dekil amat, tomboy bangetlah pokoknya., yang pasti dan gak ketinggalan suka berkelana dan petualang alam.... wehehehe,...
gak suka dibohongin apalagi dikhianati,... skali ter jadi wassalam auto masuk daftar blacklist.
(bersambung)
Senin, 20 April 2015
Minggu, 19 April 2015
GOES WADUK KEDUNG OMBO ALA #KKN03SEDADI
Sabtu 21 Maret 2015, jalan-jalan kkn03sedadi this a day with ungu el hawa, lin clunice nai, rinie cah pati, abdul qohar alexandro qocenk, ikha al-latief , umami al kariem, and then rohmat saiful arifin sbgai fotografernya
And then, kali ini yang jadi fotografernya Bang Qohar,.... Nice Picture yakkkk
Nie critanya si Hasan Gi nikmati Nila Bakar Rini,.. Ciecieee,.... hihi l
iat noh, piringnya hampir mo dimakan juga,.. haha
Ikha Makannya keliatan anggun banget yah kayak putri Solo,... hii
Upstt Putri Rembang dech,...hahaa
Nie rini ma arifin makan juga gak lupa eksis juga lho,...
Awas rin ntar durinya ikut kemakan lhoo,.....
ada Ungu El hawa,alias ndotul ma Umami yang nikmati makan Nila Bakar juga lhoooo,...
Lho ikha ngapain tuch,... oh,ceritanya lagi nungguin teman" yang lain sholat and dia skalian buka lapak penitipan ponsel atau mungkin dia juga jualan ponsel,hahaha bisa juga kannn,....
Mereka adalah The Cowokers dalam touring kali ini
Tthis Picture are lereng waduk,..... kreeennnnn,...................
Viewnya kurang jelas dikit,..tpi tetep asyikkk kok with teman kkn03
Habis njahilin orang2 yang berduan gak jelas ditengah jalan,...hehehe peace,......
tetep narsis bareng,...
View belakang waduk,....
Ada aksi terbang mlayang juga lho,....... hehehe,....
nie mau pulang, Selamat Sehat sampai rumah Bu Lurah
Sedadi Tercintaaaa
.... Tha.,,,Thaaaaaaaaaaa
Sedadi Tercintaaaa
.... Tha.,,,Thaaaaaaaaaaa
Malaikat dan Khalifah
TAFSIR AYAT 30 - 33
Malaikat
Dan Khalifah
Dengan dua ayat berturut-turut, yaitu ayat 28 dan 29
perhatian kita Insan ini disadarkan oleh Tuhan. Pertama, bagaimana kamu akan
kufur kepada Allah, padahal dari mati kamu Dia hidupkan.Kemudian Dia matikan,
setelah itu akan dihidupkanNya kembali untuk memperhitungkan amal.
Bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal seluruh isi
bumi telah disediakan untuk kamu. Lebih dahulu persediaan untuk menerima
kedatanganmu di bumi telah disiapkan, bahkan dari amar periatah kepada ketujuh
langit sendiri. Kalau demikian adanya, pikirkanlah siapa engkau ini. Buat apa
kamu diciptakan. Kemudian datanglah ayat khalifah.
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ
إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَة
"Dan
(ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. " (pangkal ayat 30).
Sebelum kita teruskan menafsirkan ayat ini, terlebih dahulu
haruslah dengan segala kerendahan hati dan iman kita pegang apa yang telah
dipimpinkan Tuhan pada ayat yang tiga di permulaan sekali, yaitu tentang
percaya kepada yang ghaib.
Tuhan telah menyampaikan dengan Wahyu kepada UtusanNya bahwa
Tuhan pernah bersabda kepada Malaikat bahwa Tuhan hendak mengangkat seorang
khalifah di bumi. Maka terjadilah semacam soal jawab di antara Tuhan dengan
Malaikat. bagaimana duduknya dan di mana tempatnya bila waktunya soal jawab itu
? Tidaklah layak hendak kita kaji sampai ke sana.
Ada dua macam cara Ulama-ulama ikutan kita menghadapi wahyu
mi. Pertama ialah Mazhab Salaf. Mereka menerima berita wahyu itu dengan tidak
bertanya-tanya dan berpanjang soal.
Tuhan Allah telah berkenan menceritakan dengan wahyu tentang
suatu kejadian di dalam alam ghaib, dengan kata yang dapat kita pahamkan,
tetapi akal kita tidak mempunyai daya upaya buat masuk lebih dalam ke dalam
arena ghaib itu. Sebab itu kita terima dia dengan sepenuh iman.
Cara yang kedua ialah penafsiran secara Khalaf, yaitu secara
Ulama-Ulama yang datang kemudian. Yaitu dipakai penafsiranpenafsiran yang
masuk akal, tetapi tidak melampaui garis yang layak bagi kita sebagai makhluk.
Berdasar kepada ini, maka Mazhab Khalaf berpendapat
bahwasanya apa yang dihikayatkan Tuhan ini niscaya tidak sebagai yang kita
pikirkan. Niscaya pertemuan Allah dengan MalaikatNya itu tidak terjadi di satu
tempat; karena kalau terjadi di satu tempat, tentu bertempatlah Allah Ta'ala.
Dan bukanlah Malaikat itu berhadap hadapan duduk bermuka.-muka dengan Allah.
Karena kalau demikian tentulah sama kedudukan mereka, rnalaikat sebagai makhluk,
Allah sebagai Khaliq.
Menurut penyelidikan perkembangan iman dan agama dan
perbandingannya dengan Filsafat, betapapun modernnya filsafat itu, maka mazhab
khalajia.h yang lebih menenteramkan iman, dan kesanalah tujuan kepercayaan .
Umumnya Filosof yang mukmin penganut mazhab Khalaf, seumparna filosof muslim
yang besar Ibnu Rusyd. Demikian majunya dalam alarn filsafat, namun berkenaan
dengan soal-soal ghaib, dia menjadi orang Khalaf yang tenteram dengan
pendiriannya.
Imam Ghazali, dia berselisih tentang hukum akal. Bagi dia api
wajib menghangusi , air membasahi. Tidak mungkin tidak begitu. Tetapi jika
ditanyakan tentang Nabi Ibrahim a. s. tidak hangus dibakar api, dia menjawab
bahwa hal begitu tidaklah tugas filsafat. Itu adalah tempat iman. "Sebagai
Muslim saya percaya,"katanya.
Pelopor Filsafat Modern, yaitu Emmanuel Kant, dalam hal
kepercayaan dia seakan-akan penganut dari mazhab Khalaf. Dia pernah berkata :
"Betapapun kemajuan saya dalam berpikir, namun saya mengosongkan sesudut
dari jiwa saya buat percaya
Sekarang kita teruskan:
Maka nampaklah di pangkal ayat, Tuhan telah bersabda kepada
Malaikat menyatakan
rnaksud hendak mengangkat seorang khalifah di bumi ini.
قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ
"Mereka berkata: Apakah Engkau hendak menjadikan
padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami
bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau?
Artinya setelah Allah menyatakan maksudNya itu, maka
Malaikatpun mohon penjelasan, khalifah manakah lagi yang dikehendaki oleh Tuhan
hendak menjadikan?.
Di dalam ayat terbayanglah oleh kita bahwa Malaikat, sebagai
makhluk Ilahi, yang tentu saja pengetahuannya tidak seluas pengetahuan Tuhan,
meminta penjelasan, bagaimana agaknya corak khalifah itu ? Apakah tidak mungkin
terjadi dengan adanya khalifah, kerusakan yang akan timbul dan penumpahan
darahlah yang akan terjadi ? Padahal alam dengan kudrat iradat Allah Ta'ala
telah tenteram, sebab mereka, malaikat, telah diciptakan Tuhan sebagai makhluk
yang patuh, tunduk,taat,dan setia. Bertasbih, bersembahyang mensucikan nama
Allah.
Rupanya ada sedikit pengetahuan dari malaikat-malaikat itu
bahwasanya yang akan diangkat menjadi khalifah itu ialah satu jenis makhluk.
Dalam jalan pendapat malaikat, bilamana jenis makhluk itu telah ramai, mereka
akan berebut-rebut kepentingan di antara satu sama lain.
Kepentingan satu orang atau satu golongan bertumbuk dengan
satu orang atau satu golongan yang lain, maka beradulah yang keras timbullah
pertentangan dan dengan demikian timbullah kerusakan bahkan akan timbul juga
pertumpahan darah. Dengan demikian ketenteraman yang telah ada dengan adanya
makhluk, malaikat yapg patuh, taat dan setia, menjadi hilang.
Pertanyaan dan kemusykilan itu dijawab oleh Tuhan.
قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
"Sesungguhnya
Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. " (ujung ayat 30).
Artinya, dengan-jawaban itu, Allah Ta'ala tidak membantah pendapat dari MalaikatNya, cuma menjelaskan bahwasanya pendapat dan ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Bukanlah Tuhan memungkiri bahwa kerusakanpun akan timbul dan darahpun akan tertumpah tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari itu, sehingga kerusakan hanyalah sebagai pelengkap saja dan pembangunan dan pertumpahan darah hanyalah satu tingkat perjalanan hidup saja di dalam menuju kesempurnaan.
Artinya, dengan-jawaban itu, Allah Ta'ala tidak membantah pendapat dari MalaikatNya, cuma menjelaskan bahwasanya pendapat dan ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Bukanlah Tuhan memungkiri bahwa kerusakanpun akan timbul dan darahpun akan tertumpah tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari itu, sehingga kerusakan hanyalah sebagai pelengkap saja dan pembangunan dan pertumpahan darah hanyalah satu tingkat perjalanan hidup saja di dalam menuju kesempurnaan.
Dalam
jawaban Tuhan yang dernikian, Malaikatpun menerimalah dengan penuh khusyu dan
taat.
Sekarang
kita uraikan terlebih dahulu tentang, apa atau siapakah Malaikat itu ?
Malaikat untuk banyak dan Malak untuk satu.
Malaikat untuk banyak dan Malak untuk satu.
Tuhan
menyebut di dalam al-Qur'an tentang adanya makhluk Allah bernama Malaikat.
Disebutkan pekerjaan atau tugas mereka, ada yang mencatat amalan makhluk setiap
hari, dan mencatat segala ucapan, ada yang membawa wahyu kepada Rasul-rasul dan
Nabi-nabi, ada yang menjadi duta-duta (safarah) yang memelihara al-Qur'an, ada
yang memikul Arsy Tuhan, ada yang menjaga surga dan yang menjaga neraka, dan
ada yang siang dan malam berdoa, memuji-muji Allah dan bersujud, dan ada pula
yang mendoakan agar makhluk yang taat diberi ampun dosanya oleh Tuhan. Dan
banyak lagi yang lain.
Tetapi
Tuhan Allah tidak menyebutkan dari bahan apa Malaikat itu dijadikan. Dan
tersebut juga bahwa ada Malaikat itu yang menyatakan dirinya, sebagai yang
datang membawakan Ilham kepada Maryam bahwa dia akan diberi putra, atau yang
kelihatan oleh Nabi kita Muhammad s.a.w seketika beliau mula-mula menerima
wahyu. Dan disebut juga ada Malaikat itu yang bersayap, dua-dua, tiga-tiga, dan
empat-empat.
Orang-orang di jaman
jahiliyah mencoba menggambarkan Malaikat itu sebagai manusia dan merekapun
menentukan jenisnya; yaitu perempuan. Ini dibantah keras oleh al-Qur'an. Maka
tidaklah pantas makhluk gaib itu ditentukan kelamin jantan atau betinanya.
Tersebut pula bahwa
Malaikat yang datang membawa wahyu kepada Rasul-rasul itu namanya Jibril, dan
disebut juga Ruhul-Arnin, dan disebut juga Ruhul-Qudus. Tetapi manusia yang
beriman dan Istiqomah (tetap hati) di dalam Iman kepada Allah, juga akan
didatangi oleh Malaikat-malaikat, untuk menghilangkan rasa takut dan dukacita
mereka. Dan di dalam peperangan Badar Malaikat itupun datang, sampai 3.000
banyaknya.
Seperti
itulah yang tersebut dalam al-Qur'an. Dan dijelaskan pula oleh hadits-hadits
bahwa Malaikat-malaikat itu memberikan ilham yang baik kepada manusia, dan
menimbulkan keteguhan semangat dan iman. Sebagai juga tersebut di dalam hadits
bahkan di dalam alQur'an sendiri bahwa setan, sebaliknya dari Malaikat, selalu
membawa ilham buruk dan was-was kepada manusia. Tetapi ketika orang diberi
ilham baik oleh Malaikat atau was-was buruk oleh setan maka yang menerima ilham
atau was-was itu bukanlah badan kasar, melainkan roh manusia.
Tidaklah ada orang yang nampak dengan matanya seketika Malaikat atau setan datang memberinya ilham atau was-was melainkan masuk pengaruhnya ke dalam jiwa atau perasaan orang itu. Ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi, an-Nasa' i dan Ibnu Hibban, demikian bunyinya :
"Sesungguhnya dari setan ada semacam
gangguan kepada anak Adam, dan dari Malaikatpun ada pula. Adapun gangguan setan
ialah menjanjikan kejahatan dan mendustakan kebenaran, dan sentuhan Malaikat
ialah menjanjikan kebaikan dan menerima kebenaran.Maka siapa yang merasai yang
demikian, hendaklah dia mengetahui bahwa perkara itu dari Allah, dan
berterima-kasihlah dia kepadaNya.Tetapi kalau didapatnya lain, hendaklah dia
berlindung kepada Allah dari setan. (Kemudian dibacanya ayat yang artinya :
"Setan menyuruh menjanjikan melarat untukmu dan menyuruhmu berbuat yang
keji-keji. '
Turmidzi
mengatakan hadits ini hasan gharib.
Syaikh
Muhammad Abduh seketika menafsirkan ayat ini berkata:
"Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa di
dalam batin segala yang tercinta ini memang tersembunyi kekuatan-kekuatan besar
yang menjadi sendi dari kekuatan dan kerapiannya, yang tidak mungkin dipungkiri
sedikitpun oleh orang yang mempergunakan akal. Orang yang tidak beriman kepada
wahyu, mungkin keberatan menamainya Malaikat, sebab itu setentah menamainya
tenaga alam atau Natuurkrachten tetapi sudah nyata bahwa mereka tidak dapat
memungkiri dengan akal sehat akan adanya makhluk itu, yang di dalam agama
dinamai Malaikat. Namun hakikatnya hanyalah satu. Adapun orang yang berakal
tidaklah nama-nama itu mendindingnya buat sampai kepada yang dinamai."
Demikianlah sedikit penjelasan tentang Malaikat. Kemudian
kita teruskan lanjutan ayat.
Setelah itu Allah pun rnelanjutkan apa yang telah Dia tentukan, ya.itu menciptaka.n khalifah itu; itulah Adam.
Setelah itu Allah pun rnelanjutkan apa yang telah Dia tentukan, ya.itu menciptaka.n khalifah itu; itulah Adam.
وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ
كُلَّهَا
"Dan
telah diajarkanNya kepada Adam nama-namanya semuanya. " (pangkal ayat 31).
Artinya
diberilah oleh Allah kepada Adam itu semua ilmu:
ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
Kemudian Dia kemukakan semuanya kepada Malaikat. lalu Dia
berfirman : Beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jika adalah kamu makhlukmakhluk
yang benar.'-
(ujung ayat 31).
(ujung ayat 31).
Tafsir
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan
manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Tafsir Ayat
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Zhahara al-fasâd fî al-barr wa
al-bahr (Telah tampak kerusakan di darat dan di laut). Dalam bahasa Arab,
kata al-fasâd kebalikan dari al-shalâh (kebaikan)[1].
Segala sesuatu yang tidak terkagori sebagai kebaikan dapat dimasukkan ke
dalam al-fasâd.
Berkaitan dengan kata al-fasâd dalam ayat ini, para
mufassir berusaha mendeskripsikan kerusakan yang dimaksud. Al-Biqa’i
menjelaskannya sebagai berkurangnya semua yang bermanfaat bagi makhluk[2].
Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, fasâd adalah kekurangan hujan dan
sedikitnya tanaman[3].
Al-Nasafi memberikan contoh berupa terjadinya paceklik; minimnya hujan, hasil
panen dalam pertanian, dan keuntungan dalam perdagangan; terjadinya kematian
pada manusia dan hewan; banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam; dan
dicabutnya berkah dari segala sesuatu[4].
Selain keadaan tersebut, fasâd juga digambarkan az-Zamakhsyari
dan al-Alusi dengan kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat,
dan banyaknya madarat[5].
Jika
dicermati, penjelasan beberapa mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian
yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan
hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana ditegaskan
asy-Syaukani, at-ta’rîf (bentuk ma’rifah) pada kata al-fasâd
menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Artinya, kata tersebut
mencakup semua jenis kerusakan yang ada di daratan maupun di lautan[6].
Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moral,
alam, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.
Demikian pula kata al-barr dan
kata al-bahr. Huruf al-alif wa al-lâm pada kedua kata itu memberikan
makna li al-jins[7]
sehingga menunjukkan makna semua daratan dan semua lautan. Dengan demikian,
ayat ini memberikan pengertian bahwa telah tampak dengan jelas semua jenis
kerusakan di seluruh muka bumi, baik di daratan maupun lautan.
Berbagai kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Pangkal
penyebabnya disebutkan dalam firman Allah Swt. berikutnya: bimâ kasabat aydî
al-nâs (disebabkan oleh perbuatan tangan manusia). Menurut ayat ini,
pangkal penyebab semua kerusakan di seluruh muka bumi itu adalah ulah perbuatan
manusia. Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud
adalah perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Jazairi menafsirkannya: bi zhulmihim wa kufrihim wa
fisqihim wa fujûrihim (karena kezaliman, kekufuran, kefasikan dan kejahatan
mereka). Al-Baghawi menyebutnya bi syu’ dzunûbihim karena keburukan
dosa-dosa mereka).[8]
Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir memaknainya bi sabab al-ma’âshî (karena
kemaksiatan-kemaksiatan)[9]
Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan bi sabab ma’âshîhim wa dzunûbihim
(karena perbuatan maksiat dan dosa mereka).[10]
Meskipun dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi,
al-Nasafi, al-Khazin, dan al-Shabuni.[11]
Menurut al-Alusi, kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Musibah
apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian sendiri (QS asy-Syura [42]: 30).
Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab
terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan
manusia terhadap ketentuan syariah-Nya.
Kemudian Allah Swt. berfirman: liyudzîqahum ba’dha
al-ladzî ‘amilû (supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari
[akibat] perbuatan mereka). Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa
frasa ini memberikan pengertian: Agar Dia menimpakan kepada mereka hukuman
atas sebagian perbuatan dan kemaksiatan yang mereka lakukan[12].
Al-Baghawi juga mengatakan bahwa itu adalah hukuman atas sebagian dosa yang
telah mereka kerjakan.[13]
Pendek kata, kerusakan yang timbul akibat kemaksiatan dan kemungkaran itu
merupakan hukuman bagi pelakunya di dunia sebelum mereka mendapat hukuman di
akhirat.[14]
Patut dicatat, hukuman di dunia itu, betapa pun dahsyatnya,
sesungguhnya masih baru sebagian. Sebab, kata ba’dha al-ladzî ‘amilû
menunjukkan, azab yang mereka rasakan saat ini belum seluruhnya. Azab secara
keseluruhan akan ditimpakan kepada pelakunya kelak di akhirat.[15]
Meski begitu, kerusakan yang kasatmata itu seharusnya menyadarkan mereka untuk
bertobat. Allah Swt. berfirman: la’allahum yarji’ûna (agar mereka
kembali [ke jalan yang benar]).
Kata yarji’ûna berarti bertobat. Demikian penafsiran
banyak mufassir, seperti al-Hasan sebagaimana dikutip ath-Thabari dan
asy-Syaukani.[16]
Tobat tersebut dilakukan dengan menyesali kesalahannya, berhenti dari segala
kemaksiatan, dan kembali taat pada ketentuan syariah-Nya.
Kemaksiatan dan Kerusakan
Telah maklum, dunia kini sedang dilanda krisis ekonomi.
Meningkatnya pengangguran, banyaknya perusahaan yang bangkrut dan gulung tikar,
meluasnya kemiskinan, anjloknya daya beli masyarakat, dan berbagai dampak
ikutan lainnya telah menjadi ancaman yang mencemaskan bagi dunia. Meskipun
berbagai langkah telah ditempuh untuk mengatasinya, hingga kini belum
menunjukkan tanda-tanda berhasil. Kalaupun suatu saat tampak reda, itu hanyalah
bersifat sementara. Krisis yang sama, bahkan lebih besar akan kembali berulang.
Bagi kaum Muslim, semestinya tidak sulit mengurai persoalan
tersebut. Sebab, ayat ini telah memberikan panduan amat jelas dalam memandang
dan menyikapi setiap kerusakan yang terjadi di muka bumi. Ada dua perkara
penting dari ayat ini yang patut dijadikan sebagai patokan ketika melihat
kerusakan.
Pertama:
pangkal penyebab kerusakan. Menurut ayat ini, penyebab semua kerusakan tersebut
adalah ulah tangan manusia (bimâ kasabat aydî al-nâs). Sebagaimana
dijelaskan para mufassir, ulah tangan manusia yang dimaksud adalah kemaksiatan
dan perbuatan dosa manusia. Pelanggaran manusia terhadap dînul-Lâh, baik
akidah maupun syariah, itulah yang menjadi penyebab kerusakan. Kesimpulan ini
kian jelas jika dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, serta nash-nash
lainnya.
Dalam ayat sebelumnya, diberitakan bahwa manusia itu
diciptakan Allah Swt. Dia pula yang memberikan rezeki, mematikan, dan
menghidupkan manusia. Tidak ada andil sedikit pun dari sesembahan orang-orang
yang menyekutukan-Nya. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan (lihat
QS al-Rum [30]: 40).
Di samping mengandung berita, ayat tersebut juga bermakna
celaan bagi orang-orang musyrik. Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, aspek hubungan
tersebut dengan sesudahnya (ayat 41), bahwa syirik merupakan sebab kerusakan.[17]
Dalam ayat sesudahnya (ayat 42) manusia diperintahkan untuk memperhatikan
kesudahan kaum yang menyekutukan-Nya. Akibat buruk yang dialami kaum musyrik
sebelumnya kian mengukuhkan bahwa kerusakan yang merata di daratan dan di
lautan itu disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran. Tak aneh jika Qatadah dan
as-Sudi pun menafsirkan kata fasâd dalam ayat ini sebagai syirik.[18]
Kekufuran dan kemusyrikan merupakan kemaksiatan terbesar.
Kesesatan akidah inilah yang melahirkan, memproduksi, dan membawa berbagai
kemaksiatan lainnya. Tak berlebihan jika kekufuran dan kemusyrikan disebut
sebagai biang utama kerusakan. Kerusakan yang disebabkan oleh kemusyrikan dan
kekufuran itu juga dapat dijumpai dalam ayat lain (Lihat, misalnya, QS Maryam
[19]: 89-91).
Di samping kekufuran dan kemusyrikan, ada beberapa kemaksiatan
lainnya yang disebutkan secara spesifik dapat menyebabkan kehancuran
masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي
قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Jika
zina dan riba telah tampak di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah
menghalalkan diri mereka dari azab Allah (HR ath-Thabrani dan al-Hakim).
Oleh
karena kekufuran, kemaksiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya
kerusakan, tidak jarang al-Quran pun menyebut semua tindakan itu dengan
kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS
al-Baqarah [2]: 11, misalnya, mengandung makna sebagai larangan berlaku kufur,
syirik, dan maksiat.
Kedua:
solusi atas kerusakan yang terjadi. Frasa penutup ayat ini mengisyaratkan,
solusi satu-satunya agar kerusakan di muka bumi tidak berlanjut adalah kembali
pada syariah-Nya. Sebab, pangkal penyebab terjadinya semua kerusakan di muka
bumi adalah perbuatan maksiat dan dosa. Karena itu, untuk menghentikannya pun
dengan cara berhenti dari maksiat, selanjutnya berjalan sesuai dengan tuntunan
syariah. Selama kemaksiatan terus berjalan, jangan berharap pula kerusakan bisa
berhenti.
Berkaitan
dengan hal ini, menarik untuk disimak pemaparan Abu al-Aliyah yang dikutip Ibnu
Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi,
sungguh dia telah melakukan kerusakan di muka bumi. Sebab, baiknya bumi dan
langit disebabkan karena ketaatan. Oleh karena itu, dalam hadis yang
diriwayatkan Abu Daw dinyatakan:
لَحَدٌّ يقَامُُ بِهِ فِي اْلأَرْضِ
أََحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
Sungguh
hukum hudûd yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai penduduknya daripada
mereka diguyur hujan selama empat puluh pagi).
Hal itu karena jika hudûd ditegakkan dapat membuat
manusia—sebagian besar atau kebanyakan manusia—meninggalkan perbuatan yang
diharamkan. Sebaliknya, jika manusia melakukan maksiat, maka itu menjadi sebab
bagi lenyapnya berkah dari langit dan bumi.[19]
Berhenti
dari maksiat dan kembali pada syariah Islam itu haruslah secara total. Jika
belum total, berarti masih ada ruang bagi mereka dalam maksiat.
Patut ditegaskan, syariah Islam bersifat sempurna, mengatur
totalitas aspek kehidupan manusia (lihat QS al-Nahl [16]: 86, al-Maidah [5]:
3). Syariah mengatur seluruh hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya;
maupun sesamanya. Di samping berisi hukum-hukum tentang ibadah, makanan,
pakaian, dan akhlak; syariah juga memberikan sistem pemerintahan, ekonomi,
pendidikan, politik luar negeri, pidana, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib
diterapkan. Jika itu dikerjakan, kerusakan akan lenyap, berganti dengan
kehidupan penuh berkah (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).
Sekularisme-Kapitalisme: Biang Krisis
Tak dapat dipungkiri, dunia kini sedang dicengkeram ideologi
sekularisme. Ideologi ini telah melahirkan berbagai paham dan sistem yang
merusak kehidupan. Dalam penetapan baik-buruk, ideologi ini mendasarkan pada
asas manfaat material (materialisme), bahkan oleh selera dan kesenangan
(hedonisme). Ketika paham itu mendominasi, apalagi ditetapkan dalam institusi
negara, sudah pasti ia menyebabkan kerusakan. (Lihat: QS al-Mukminun [23]: 71).
Dalam sistem pergaulan, ideologi ini menuhankan kebebasan (freedom).
Sebagai konsekuensinya, pornografi, free sex, dan homoseksual dianggap
sebagai kewajaran; bukan sebagai kejahatan yang harus diberantas. Perilaku
amoral itu pun memunculkan aneka masalah, mulai dari merebaknya penyakit
kelamin, HIV/AIDS, aborsi, runtuhnya bangunan rumah tangga hingga meningkatnya
kriminalitas.
Dalam ekonomi, ideologi ini melahirkan sistem ekonomi
Kapitalisme. Sistem ekonomi ini menjadikan riba, pasar saham, pemberlakuan mata
uang kertas, dan kebebasan kepemilikan sebagai pilarnya; yang semaunya
melanggar syariah. Faktanya, semua pilar itu menjadi penyebab terjadinya krisis
ekonomi global. Ketamakan sistem ekonomi juga menyebabkan kerusakan alam yang
amat parah. Nyatalah, kerusakan global tidak akan bisa diatasi kecuali mengubah
sistemnya secara total: dari Sekularisme-Kapitalisme menuju Islam, di bawah
naungan Daulah Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah.
Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. []
Referensi
1. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr
al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),
2. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.
11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),
3. Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
4. Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.
5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),
5. Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi
Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),
6. Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
7. An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa
Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001),
8. Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol.
2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996)
9. As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol.
4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
10. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol.
4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),
11. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992),
12. Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;
13. Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb,
vol. 25 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990),
14. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000)
15. Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol.
3 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).
[3]
Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 417; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl
fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 393,
[4]
An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa
Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 31.
[5]
Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol.
3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî,
vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
[10]
Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol.
3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360.
[11]
Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.
11, 48; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol.
2, 31; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3, 393;
ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996),
442.
[12] Ath-Thabari,
Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1992), 192.
[14]
Penjelasan demikian bisa dilihat
dalam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4, ;
al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48.
Sabtu, 18 April 2015
ETIKA PENDIDIK (hadist tarbawi)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah
: Hadist Tarbawi
Dosen
Pembimbing : Abdul Karim. SS, MAg
![]() |
Disusun
Oleh :
Disusun
oleh :
1.
Edi Maftukin 111104
2. Nailin Ni’mah 111115
3. Halimah 111116
![]() |
|||
![]() |
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
TAHUN
2012
A. Pendahuluan
Ada beberapa
istilah yang harus diterangkan dahulu maksudnya sebelum kita melanjutkan
pembicaraan kita mengenai tajuk kertas ini. Pertama sekali adalah keguruan.
Maksudnya pekerjaan sebagai guru. Jadi ia adalah salah satu kerja (profesion)
sebagaimana halnya dengan kerja-kerja yang lain dalam masyarakat seperti
akuntan, Dokter, konseling, kejuruteraan, perniagaan dan lain-lain sebagainya.
Sebagai sebuah kerja keguruan, ia tunduk kepada pelbagai syarat yang dikenakan
kepada kerja-kerja yang lain seperti kode etika dan sebagainya.
Kedua kode etika adalah aturan-aturan yang
disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan kerja tertentu seperti
akuntan, Dokter, konseling dan sebagainya. Ketiga, nilai-nilai yang menyertai
setiap kerja itu seperti memberi perkhidmatan yang sebaik-baiknya kepada
pelanggan dan sebagainya. Ini semua adalah nilai. Keempat pengamalan, memang
semua kerja mementingkan amalan. Sebab setiap pemegang kerja itu dipanggil
pengamal (practitioner) dalam bidang tertentu seperti akuntan, Dokter,
konseling dan lain-lain. Tetapi sebelum sampai kepada amalan, nilai-nilai kerja
itu harus dihayati (intemalized) lebih dahulu, ini yang membawa kita kepada
aspek terakhir pada makalah, yaitu penghayatan. Kelima penghayatan, yaitu
penghayatan nilai-nilai. Kalau ilmu seperti matematika, pengobatan dan
lain-lain dipelajari, maka nilai-nilai seperti keikhlasan, kejujuran, dedikasi
dan lain-lain itu dihayati. Kalau mau dipertegaskan lagi makalah ini sebenarnya
diharapkan menjawab persoalan bagaimana cara membimbing guru-guru pendidikan
Islam agar menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam etika keguruan itu.
Oleh yang demikian marilah kita membicarakan dahulu di bawah ini apakah etika
keguruan itu.
B. Maksud Mengajar
Mengajar
sebenarnya bermaksud menyampaikan ilmu pengetahuan maklumat, memberi galakan,
membimbing, memberi dan meningkatkan kemahiran, meningkatkan keyakinan, menanam
nilai-nilai murni dan luhur kepada para pelajar yang belum mengetahui. Ia bukan
sekadar menyampaikan maklumat atau bahan pengajaran dalam sebuah kelas. lebih
mendukacitakan lagi jika proses mengajar dianggap sekadar menyampai maklumat
dan menghabiskan sukatan pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Proses mengajar mempunyai konsep yang sangat luas, ia bertujuan untuk
menjadikan seseorang individu itu lebih bertanggungjawab dan mampu menjana
fikirannya untuk terus bahagia dan berjaya mengatasi cabaran yang akan
dihadapai. Ini hanya akan dicapai sekiranya proses pengajaran dan pembelajaran
yang dilakukan mencapai tahap pengajaran berkesan.
C. Siapa itu Guru?
Orang yang mengajar dikenali sebagai guru. Perkataan guru
adalah hasil gabungan dua suku kata iaitu `Gur’ dan `Ru’.
Dalam bahasa
jawa, Gu diambil daripada perkataan gugu bermakna boleh dipercayai manakala Ru
diambil daripada perkataan tiru yang bermaksud boleh diteladani atau dicontohi.
Oleh itu, GURU bermaksud seorang yang boleh ditiru perkataannya, perbuatannya,
tingkah lakunya, pakaiannya, amalannya dan boleh dipercayai bermaksud
keamanahan yang dipertanggungjawabkan kepadanya untuk dilakukan dengan jujur.
D. Peranan dan
Tugas Mengajar
Setiap guru
seharusnya mengetahui peranan dan tugas mereka secara terperinci jika mereka
ingin berusaha melakukan dan menghasilkan pengajaran yang berkesan.
Di antara
tugas seorang guru ialah :
1. menyampaikan ilmu pengetahuan
2. menyampaikan maklumat
3. menyampai dan
4. memberi kemahiran serta
5. memupuk nilai-nilai murni dan luhur sebagaimana yang telah disebutkan di
atas.
Manakala peranan guru pula ialah sebagai pembimbing,
pendidik, pembaharu, contoh dan teladan, pencari dan penyelidik, penasihat dan
kaunselor, pencipta dan pereka, pencerita dan pelakon, penggalak dan
perangsang, pengilham cita-cita, pengurus dan perancang, penilai, pemerhati,
rakan dan kawan pelajar, doktor dan pengubat, penguat kuasa, pemberi petunjuk
orang yang berwibawa dan sebagainya.
Jelas
menunjukkan bahawa menjadi seorang guru merupakan satu tugas dan peranan yang
agak berat. Sebenarnya, jika anda anggap tugas itu berat, maka beratlah ia.
Jika anda terima ia sebagai satu cabaran dengan cara yang positif, maka
mudahlah ia.
E. Pengertian
Profesi
Profesi
berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu
janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas
menjadi: kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang
dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi
berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus
dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Jabatan Guru
Sebagai Suatu Profesi. Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena
menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar, mengelola
kelas, merancang pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat memiliki
nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda dari
pekerjaan lain. Menurut artikel “The Limit of Teaching Proffesion,” profesi
guru termasuk ke dalam profesi khusus selain dokter, penasihat hukum, pastur.
Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanan
manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya menyadari
bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarganya harus hidup akan
tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi
motivasi utamanya, melainkan kesediaannya untuk melayani sesama.
Di lain pihak
profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu
disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi
luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam keadaan darurat dianggap
wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat
profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaan.
F. Dua Prinsip
Etika Profesi Luhur
Tuntutan dasar
etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa
pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan: “Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi
kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-aturan
kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlinan mereka
semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung
ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari
seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas
kepentingan klien.”
Yang kedua
adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau
pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan
para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode
etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut
seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam keadaan apapun tetap menjunjung
tinggi tuntutan profesinya.
Kesimpulannya
adalah jabatan guru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini
tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa
profesi guru adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib
menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk
mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang
telah diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.
G. Tuntutan Seorang Guru
Di atas telah
dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur.
Berikut akan diuraikan tentang dua tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan
guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah:
1. Mengembangkan
visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik.
2. Mengembangkan
potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap
pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk
menentukan mana yang baik atau tidak baik.
Apabila
seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai
tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu
pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat eks-klusif.
Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan
dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir
konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak diajarkan bahwa
untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa
sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan
sehingga menutup kemung-kinan akan timbulnya visi bersama (kelompok) akan hal
yang baik.
Berbeda dengan
tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan
peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada
diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru
mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengembangkan
visi apa yang baik secara konkrit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah
kehidupan bermasyarakat sehingga pada akhirnya akan terbentuklah dalam diri
anak sense of justice dan sense of good. Komitmen guru dalam mengajar guna
pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus
memiliki loyalitas terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga (sekolah). Sekolah
selanjutnya akan mengatur guru, KBM dan siswa supaya mengalami proses
belajar-mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi
penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan
bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan,
membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru mempunyai otonomi). Hal
ini menjadi perlu bagi seorang yang profesional dalam pekerjaannya.
Masyarakat
umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini
dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses’ anak
didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga (sekolah).
Lembaga (sekolah) boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari
masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga (sekolah) atau guru
tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini
menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga (sekolah) atau
guru.
Dengan
demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu
dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban
melainkan visi yang akan dicapai guru melalui pro-ses belajar mengajar. Guru
perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut.
H. Etika Keguruan
Sebenarnya
kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional,
ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam
kerjanya. Lebih ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi
pandangan Islam, maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang
dipikulkan kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam dan
seterusnya di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki
sifat-sifat yang berikut:
- Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat
bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran, ayat
79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.
- Bahwa ia
mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu
pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia
dalam bidang pengkhususannya.
- Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan
risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari
kebenaran serta melaksanakannya.
- Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat
kepada pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang
timbul.
- Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan
tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat
mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya.
Seperti makna sebuah hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan
berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
- Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan
kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi
suasana tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi
professional dan psikologikal yang baik.
- Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup
membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
- Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan
trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan
pemikiran mereka.
- Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya,
tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar.
Inilah sifat-sifat terpenting yang patut dipunyai oleh
seorang guru Muslim di atas mana proses penyediaan guru-guru itu harus dibina.
Buku-buku pendidikan telah juga memberikan ciri-ciri umum
seorang guru, ciri-ciri itu tidak terkeluar dan sifat-sifat dan aspek-aspek
berikut:
- Tahap pencapaian ilmiah
- Pengetahuan umum dan keluasan bacaan
- Kecerdasan dan kecepatan berfikir
- Keseimbangan jiwa dan kestabilan emosi
- Optimisme dan entusiasme dalam pekerjaan
- Kekuatan sahsiah
- Memelihara penampilan(mazhar)
- Positif dan semangat optimisme
- Yakin bahawa ia mempunyai risalah(message)
Dari uraian di
atas jelaslah bahawa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan sahaja di dalam
sekolah, tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus
untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul
bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti fakulti-fakulti
pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan masyarakat Islam
sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa
perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah
pendidikan Islam. Petunjuk (hidayah) Islam di dalam dan di luar adalah sebab
tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk generasi-generasi umat Islam yang
memahami dan menyedari risalahnya dalam kehidupan dan melaksanakan risalah ini
dengan sungguh-sungguh dan amanah dan juga menyedari bahawa mereka mempunyai
kewajipan kepada Allah S.W.T dan mereka harus melaksanakan tugas itu dengan
sungguh-sungguh dan ikhlas.
Begitu juga
mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya
dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sedar bahawa
mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka
melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah, professionalisme dan
kecekalan. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam
kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman dan kebanggaan
Setelah
berpanjang lebar tentang kode etika keguruan dalam pandangan pendidikan Islam,
marilah kita tutup bagian ini dengan suatu misal atau model yang menjamin bahwa
bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan maka masyarakat
akan hidup bahagia dan individu-individu dan kumpulan-kumpulan akan hidup
dengan tenteram. Model ini tergambar dalam firman Allah S.W.T yang bermaksud,
“Katakanlah
(wahai Muhammad) marilah aku bacakan apa yang dihararamkan kepadamu oleh
Tuhanmu. Hendaklah berbuat baik kepada kedua ibu bapa. Janganlah kamu membunuh
anak-anakmu kerana takut kemiskinan, sebab Kamilah yang memberi mereka dan kamu
rezeki. Jangan kamu mendekati perkara-perkara buruk yang terang-terangan dan
yang tersembunyi. Jangan kamu membunuh diri yang dihararamkan kamu membunuhnya
kecuali dengan kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu, mudah-mudahan kamu
berakal. Jangan kamu mendekati harta anak yatim kecuali untuk yang lebih baik
sehinggalah ia dewasa. Sempumakanlah ukuran dan timbangan dengan adil. Allah
tidak memberi beban seseorang kecuali yang disanggupinya. Jika kamu berkata,
maka berbuat adillah walaupun kepada sanak saudara. Sempurnakanlah janjimu
kepada Allah. Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu ingat. Sungguh inilah
jalanKu yang lurus, maka ikutilah olehmu, jangan kamu ikut jalan-jalan lain
nescaya kamu bercerai-berai dari jalanNya. Itulah pesanNya bagimu,
mudah-mudahan kamu bertaqwa ”
Ayat-ayat ini
mengandungi sepuluh perakuan (wasaya) penting dalam kehidupan individu dan
kumpulan-kumpulan Islam dan kemanusiaan. Ia merupakan perlembagaan Ilahi dalam
pendidikan dan bimbingan akhlak dan sosial yang intinya adalah sebagai berikut;
- Jangan mensyarikatkan Allah S.W.T
- Berbuat baik kepada ibu bapa.
- Jangan membunuh anak kerana takut miskin.
- Jangan mendekati perkara-perkara buruk.
- Jangan membunuh manusia.
- Jangan mendekati harta anak-anak yatim.
- Sempurnakanlah timbangan dan ukuran dengan adil.
- Tidak boleh dibebani seseorang lebih dari
kemampuannya.
- Berbuat adillah dalam berkata-kata walaupun pada
kaum kerabat.
- Sempumakanlah janjimu dengan Allah S.W.T.
Selepas uraian
tentang kode etika dalam keguruan, marilah kita bahas tentang penghayatan dan
pengamalan nilai. Masalah penghayatan (internalization) sesuatu perkara berlaku
bukan hanya pada pendidikan agama saja tetapi pada aspek pendidikan, pendidikan
pra-sekolah, pendidikan sekolah, pengajian tinggi, pendidikan latihan perguruan
dan lain-lain. Sebab adalah terlalu dangkal kalau pendidikan itu hanya
ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan (skill) saja tetapi
yang lebih penting dari itu semua adalah penanaman sikap (attitude) yang
positif pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan pendidikan.
Pendidikan ilmu (knowledge) terutama yang berkenaan dengan fakta-fakta dan
ketrampilan tidaklah terlalu rumit sebab tidak terlalu banyak melibatkan
nilai-nilai. Tetapi sebaliknya pendidikan sikap di mana terlibat nilai-nilai
yang biasanya berasal dari cara-cara pemasyarakatan yang diperoleh oleh
kanak-kanak semasa kecil, apa lagi kalau objek pendidikan itu memang adalah
nilai-nilai yang tidak dapat dinilai dengan betul atau salah tetapi dengan baik
atau buruk, percaya atau tidak percaya, suka atau tidak suka dan lain-lain
lagi. Dalam keadaan terakhir ini pendidikan tidak semudah dengan pendidikan
fakta atau ketrampilan.
Pendidikan nilai-nilai,
yang selanjutnya kalau diulang-ulang sebab diteguhkan akan berubah menjadi
penghayatan nilai-nilai, mempunyai syarat-syarat yang berlainan dengan
pendidikan fakta-fakta ketrampilan.
1.
Pertama
sekali nilai itu mestilah mempunyai model.
Yang berarti
tempat di mana nilai itu melekat supaya dapat disaksikan bagaimana nilai-nilai
itu beroperasi. Ambillah suatu nilai seperti kejujuran. Nilai ini bersifat
mujarrad(abstract), jadi tidak dapat diraba dengan pancaindera. Tidak dapat
dilihat dengan mata, rupanya bagaimana. Tidak dapat dicium baunya, harum atau
busuk dan sebagainya. Pendeknya, supaya nilai yang bernama kejujuran itu dapat
disaksikan beroperasi maka ia harus melekat pada suatu model, seorang guru,
seorang bapa, seorang kawan dan lain-lain. Kalau model tadi dapat mencerminkan
nilai-nilai yang disebut, kejujuran itu pada dirinya, maka kejujuran itu boleh
menjadi perangsang. Itu syarat pertama. Syarat yang kedua kalau kejujuran itu
dapat menimbulkan peneguhan pada diri murid-murid maka ia akan dipelajari,
ertinya diulang-ulang dan kemudian berubah menjadi penghayatan. Syarat kedua
agak rumit sedikit, sebab selain daripada nilai kejujuran itu sendiri, juga
model tempat kejujuran itu melekat diperlukan berfungsi bersama untuk
menimbulkan peneguhan itu. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, seorang guru
atau ibu yang mengajarkan kejujuran kepada murid atau anaknya, haruslah ia
sendiri lebih dahulu bersifat jujur, kalau tidak maka terjadi pertikaian antara
perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan terakhir ini, guru sebagai
perangsang(stumulus) telah gagal sebagai model, sebab ia tidak akan memancing
tingkahlaku kejujuran dan murid-muridnya.
2.
Oleh
sebab model tempat melekatnya nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada
murid-murid adalah manusia biasa, dengan pengertian dia mempunyai
kekurangan-kekurangan, maka nilai-nilai yang akan diajarkan itu boleh menurun
nilainya disebabkan oleh kekurangan-kekurangan yang ada pada model itu, malah
ada kemungkinan anak didik mempelajari nilai sebaliknya.
Jadi daripada jujur dia menjadi tidak jujur,
jika pada model itu timbul sifat-sifat atau tingkah laku yang tidak meneguhkan
kejujuran itu. Sebagai misal, ada murid-murid yang benci kepada matematik sebab
ia tidak suka kepada guru yang mengajarkan matematik, kalau sikap ini
dikembangkan, murid-murid boleh benci kepada semua yang berkaitan dengan
matematik, seperti pelajaran sains misalnya. Oleh sebab itu dikehendaki dari
guru-guru, terutama pada tingkat-tingkat sekolah dasar agar mereka melambangkan
ciri kesempumaan dari segi jasmaniah dan rohaniah. Dengan kata lain syarat
penghayatan nilai-nilai sangat bergantung pada peribadi model yang membawa
nilai-nilai itu.
3.
Semua
guru, terlepas daripada mata pelajaran yang diajarkannya, adalah pengajar
nilai-nilai tertentu.
Sebab
guru-guru sama ada sedar atau tidak, mempengaruhi murid-muridnya melalui
kaedah-kaedah dan strategi-strategi pengajaran yang digunakan yang sebahagian
besarnya termasuk dalam kawasan “kurikulum informal”. Sebagaimana setiap guru,
apapun yang diajarkannya, adalah seorang guru bahasa maka setiap guru juga
adalah seorang pengajar nilai-nilai. Bila seorang guru memuji seorang murid,
maka ia meneguhkan sesuatu tingkahlaku. Bila guru menghukum seorang murid, maka
ia menghukum tingkahlaku tertentu. Malah bila guru tidak mengacuhkan seorang
murid, maka murid tersebut mungkin merasa bahawa guru tidak menyukai
perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai. Begitu juga dengan pendidikan
agama, sebahagian, kalau tidak sebahagian besar, nilai-nilai agama itu sendiri
tidak diajarkan oleh guru-guru agama di sekolah, tetapi oleh guru-guru
matematik, geografi, sejarah dan lain-lain. Kalau mereka mencerminkan
nilai-nilai Islam dalam cara berpakaian, bersopan-santun, beribadat atau dengan
kata lain kalau amal mereka mencerminkan nilai-nilai Islam. Malah sebaliknya,
mungkin ada setengah-setengah guru-guru agama sendiri tidak menjadi perangsang
nilai-nilai Islam itu, kalau tidak menjadi perangsang negatif yang boleh
menimbulkan sifat anti-agama pada diri murid-murid, iaitu jika perangai mereka
sehari-hari bertentangan dengan nilai-nilai Islam, walaupun mereka sendiri
mengajarkan agama. Jadi jangankan menghayati agama, sebaliknya murid-murid
semakin menjauhi kalau tidak membenci segala yang berbau agama.
Inilah
sebahagian syarat-syarat yang perlu wujud untuk penghayatan nilai-nilai. Oleh
sebab pendidikan agama merupakan pendidikan ke arah nilai-nilai agama, maka
orientasi pendidikan agama haruslah ditinjau kembali sesuai dengan tujuan
tersebut. Pendidikan agama sekadar untuk lulus ujian mata pelajaran agama sudah
lewat masanya. Orientasi sekarang adalah ke arah kemasyarakatan yang
bermotivasi dan berdisiplin. Ini tidaklah mengesampingkan bahawa dalam
pelajaran agama itu sendiri ada perkara-perkara yang bersifat fakta-fakta dan
ketrampilan-ketrampilan. Maka pada yang terakhir ini juga berlaku kaedah
pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan. Tetapi memperlakukan semua pendidikan
agama sebagai pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan saja adalah
suatu kesalahan besar yang perlu diperbaiki dengan segera. Sebab kalau tidak
maka suatu masa nanti akan timbul dalam masyarakat Islam sendiri ahli-ahli
agama yang tidak menghayati ajaran agama atau orang-orang orientalis yang
berdiam di negeri-negeri Timur.
Pengamalan
nilai-nilai adalah kelanjutan daripada penghayatan nilai. Nilai-nilai yang
sungguh-sungguh dihayati akan tercermin dalam amalan sehari-sehari. Sebab
penghayatan itu pun berperingkat-peringkat, mulai dari peringkat yang paling
rendah sampai kepada peringkat tinggi, seperti tergambar pada gambarajah di
bawah,
Kelima : Peringkat
Perwatakan
Keempat : Peringkat
Organisasi
Ketiga : Peringkat
Penilaian
Kedua : Peringkat
Gerak balas
Pertama : Peringkat
Penerimaan
Bila
nilai-nilai itu dihayati sampai ke peringkat perwatakan maka ia sebati dengan
sahsiah dan sukar untuk diubah dan sentiasa terpancar dalam amalan
sehari-hari.Kesimpulan. Oleh sebab kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia
perlu dihayati dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan dihafalkan. Di situ
juga telah dinyatakan perakuan yang sepuluh (al-Wisaya al-’Asyarah) tentang
segala kerjanya seorang muslim yang tercantum dalam al-Quran (al-An’am:
151-153).
I. Penutup
Seandainya
kita coba mengkaji lebih dalam akan arti/makna dari lagu tersebut, maka
tampaklah sebuah gambaran keseharian seorang guru, dengan loyalitasnya,
ketekunan serta pengor-banan dalam mendidik siswa untuk mencapai suatu proses
perkembangan yang optimal. Namun, dibalik itu semua juga tersirat suatu dilema
profesi ini dimana seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun perlakuan
yang sebanding dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang yang
berprofesi sebagai seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana pula
sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini
hanyalah sebuah tulisan dari pemikiran dan diskusi yang teoritis ini, namun
de-ngan yang teoritis ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan untuk
merefleksikan kembali pilihan kita.
Jabatan guru
merupakan jabatan Profesional, dan sebagai jabatan profesional, pemegangnya
harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain
bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu
yang khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan
dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan
yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai
organisasi profesional, dan mempunyai kode etik yang di taati oleh anggotanya.
Jabatan guru
belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun perkembangannya di
tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut. Usaha untuk
ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan
organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
ü Soetjipto, Raflis Kosasi, 1999, “Profesi Keguruan”,
Cetakan ke I, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta
ü Suharsimi Arikunto, 1980 “Pengelolaan Kelas dan Siswa”,
Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rajawali.
ü Suharsimi Arikunto, 1993, “Manajemen Pengajaran Secara
Manusiawi”, Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
ü Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 1997, “Strategi
Belajar Mengajar”, Cetakan ke I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
ü Syaiful Bahri Djamarah, 2000, “Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif”, Cetakan ke I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Langganan:
Postingan (Atom)