METODE PENDIDIKAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah
: Tafsir Tarbawi
Dosen
Pembimbing : Moh. Dzofir, MAg
Disusun
oleh :
1. Fina Roihah Almiskiyyah 111087
2. Sari Ulya Ningsih 111106
3. Ahmad Latif 111114
4. Nailin Ni’mah 111115
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
TAHUN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Metode
merupakan hal yang sangat penting dalam proses belajar mengajar di lembaga
pendidikan. Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka
akan sulit untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Hal ini
seluruh pendidik sudah maklum, namun masih saja di lapangan penggunaan metode
mengajar ini banyak menemukan kendala.
Kendala
penggunaan metode yang tepat dalam mengajar banyak dipengaruhi oleh beberapa
faktor ; keterampilan guru belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana, kondisi
lingkungan pendidikan dan kebijakan lembaga pendidikan yang belum menguntungkan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang variatif.
Apa
yang ditemukan oleh Ahmad Tafsir (1992 : 131) mengenai kekurangtepatan
penggunaan metode ini patut menjadi renungan. Beliau mengatakan pertama, banyak
siswa tidak serius, main-main ketika mengikuti suatu meteri pelajaran, kedua
gejala tersebut diikuti oleh masalah kedua yaitu tingkat penguasaan materi yang
rendah, dan ketiga para siswa pada akhirnya akan menganggap remeh mata pelajaran
tertentu.[1]
Kenyataan
ini menunjukan betapa pentingnya metode dalam proses belajar mengajar. Tetapi
betapapun baiknya suatu metode tetapi bila tidak diringi dengan kemampuan guru
dalam menyampaikan maka metode tinggalah metode. Ini berarti faktor guru juga
ikut menentukan dalam keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar. Sepertinya
kedua hal ini saling terkait.
Metode
yang baik tidak akan mencapai tujuan bila guru tidak lihai menyampaikannya.
Begitu juga sebaliknya metode yang kurang baik dan konvensional akan berhasil
dengan sukses, bila disampaikan oleh guru yang kharismatik dan berkepribadian,
sehingga peserta didik mampu mengamalkan apa yang disampaikannya tersebut.
Al-Quran
sebagai kitab suci umat Islam di dalamnya memuat berbagai informasi tentang
seluruh kehidupan yang berkaitan dengan manusia. Karena memang Al-Qur’an
diturunkan untuk umat manusia, sebagai sumber pedoman, sumber inspirasi dan
sumber ilmu pengatahuan. Salah satunya adalah hal yang berkaitan dengan
pendidikan.
BAB II
SURAT
AL-MAIDAH AYAT 67 DAN AN-NAHL AYAT 125
(Pendidikan
Dalam Presfektif Al-Qur’an)
Metode
Pendidikan dalam Islam tidak terlepas dari sumber pokok ajaran yaitu Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai tuntunan dan pedoman bagi umat telah memberikan garis-garis
besar mengenai pendidikan terutama tentang metode pembelajaran dan metode
mengajar.
Di
bawah ini dikemukakan beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan metode pendidikan
dalam presfektif Al-Qur’an terutama dalam Surat Al-Maidah ayat 67 dan Surat
An-Nahl ayat 125.
1.
Surat Al-Maidah ayat 67
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ
رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ
مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
a. Mufrodat
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ = Hai Rasul
بَلِّغْ = Sampaikanlah
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ = Apa Yang Di Turunkan Kepadamu
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ = Apa Yang Di Turunkan Kepadamu
مِنْ رَبِّكَ = Dari Tuhanmu.
وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ = Dan Jika Tidak Kamu Kerjakan (Apa Yang Diperintahkan Itu)
فَمَا بَلَّغْتَ = Kamu Tidak Menyampaikan
وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ = Dan Jika Tidak Kamu Kerjakan (Apa Yang Diperintahkan Itu)
فَمَا بَلَّغْتَ = Kamu Tidak Menyampaikan
رِسَالَتَه ُ =
Amanat-Nya
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ = Allah Memelihara Kamu
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ = Allah Memelihara Kamu
مِنَ النَّاسِ = Dari (Gangguan)
Manusia.
إِنَّ اللَّهَ = Sesungguhnya Allah
إِنَّ اللَّهَ = Sesungguhnya Allah
لَا يَهْدِي = Tidak Memberi
Petunjuk
الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ = Kepada Orang-Orang Yang Kafir
الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ = Kepada Orang-Orang Yang Kafir
b. Artinya
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir” [2].
c. Asbabun Nuzul
Ada beberapa riwayat dengan turunnya surat Al-Maidah ayat 67
ini diantaranya:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulallah Saw pernah
bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengutusku dengan risalah kerasulan. Hal
tersebut menyesakkan dadaku karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan
risalahku. Allah memerintahkan kepadaku, untuk menyampaikannya dan kalau tidak,
Allah akan menyiksaku”.
Maka turunlah ayat ini (QS.5:67) yang mempertegas perintah
penyampaian risalah disertai jaminan akan keselamatannya[3].
Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa Siti Aisyah
menyatakan bahwa nabi SAW biasanya dijaga oleh para pengawalnya sampai turun
ayat
“وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ (QS.5:67). Setelah ayat
itu turun Rasulullah menampakan dirinya dari kubbah sambil berkata ; “Wahai
saudar-saudaraku pulanglah kalian, Allah telah menjamin keselamatanku dalam
menyebarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik untuk tidur di
tempat tidur masing-masing.[4]
d. Pembahasan
Tersirat dalam Surat Al-Maidah ini mengandung makna bahwa
menyampaikan risalah itu merupakan perintah Tuhan. Allah memerintahkan Nabi
untuk menyampaikan risalah kenabian kepada umatnya jika tidak maka nabi
termasuk orang yang tidak menyampaikan amanat. Peringatan Allah kepada nabi
mengakibatkan beliau sangat ketakutan sehingga dada nabi terasa sesak, saking
beratnya tugas ini.
Kata-kata “baligh” dalam bahasa Arab itu merupakan
pernyataan yang sangat jelas apalagi bentuknya fi’il “amr”. Dalam tafsir
Al-Jalalin lafadz “baligh” terselip kandunganجميع (seluruhnya)[5].
Berarti nabi harus menyampaikan secara keseluruhan yang telah diterima dari
Allah SWT. Tidak boleh ada yang disembunyikan sedikitpun dari Nabi (ولا تكتم
شيئا منه ).[6]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa makna “baligh” dalam surat
Al-Maidah merupakan fiil amr yang terkandung makna untuk menyampaikan seluruh
yang diterima dari Allah SWT. Ibnu Katsir menulis :
يقول تعالى مخاطبا عبده ورسوله محمدا
– صلى الله عليه وسلم – باسم الرساله وآمرا له بإبلاغ جميع ما أرسله الله به7
(Allah berkata pada hamba dan
rasulnya yaitu Muhammad SAW dengan konteks kerisalahan dan memerintahkan untuk
menyampaikan seluruh yang datang dari Allah)
Bagi nabi tugas ini sangat berat karena merupakan tanggung
jawab dunia akherat. Saking beratnya perintah ini, dalam peristiwa “haji wada”,
nabi sekali lagi menegaskan tentang tugas beliau yang telah dipikulkan padanya.
Ini artinya sebuah perintah harus dipertangggungjawabkan. Bagi seorang guru pada
akhir tugas pembelajaran harus ada pertanggungjawaban sehingga diketahui oleh
public atau masyarakat umum. Kisah ini diceritakan sangat indah oleh Ibnu
Katisr dalam menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 67 ini. Beliau menguraikan :
قال الزهري من الله الرسالة وعلى
الرسول البلاغ وعلينا التسليم وقد شهدت له أمته بإبلاغ الرسالة وأداء الأمانة
واستنطقهم بذلك فى أعظم المحافل في خطبته يوم حجة الوداع وقد كان هناك من أصحابه
نحو من أربعين ألفا كما ثبت في صحيح مسلم عن جابر بن عبد الله أن رسول الله – صلى
الله عليه وسلم – قال في خطبته يومئذ:”ياأيها الناس إنكم مسئولون عني فما أنتم
قائلون؟ قالوا نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فجعل يرفع أصبعه إلى السماء منكسها
إليهم ويقول اللهم هل بلغت 8
Pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah
kenabian. Namun karena ada dukungan lansung dari Allah maka keberanian itu
muncul. Dukungan dari Allah sebgai pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat
dan etos dakwah nabi dalam menyampaikan risalah. Nabi tidak sendirian, di
belakangnya ada semangat “Agung”, ada pemberi motivasi yang sempurna yaitu
Allah SWT. Begitu pun dalam proses pembelajaran harus ada keberanian, tidak
ragu-ragu dalam menyampaikan materi. Sebab penyampaian materi sebagai pewarisan
nilai merupakan amanat agung yang harus diberikan. Bukankah nabi berpesan ;
“yang hadir hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir” . Sehingga Allah
berfirman sebagai penegasan dukungan keselamatan :
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ =
Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia
Imam AL-Qurtubi memperjelas dalam konteks kerisalahan nabi sebagai rasul. Beliau mengungkapkan sebab rasul tidak berani menyampaikan risalah kenabian secara terang-terangan. Beliau menulis dalam tafsirnya :
Imam AL-Qurtubi memperjelas dalam konteks kerisalahan nabi sebagai rasul. Beliau mengungkapkan sebab rasul tidak berani menyampaikan risalah kenabian secara terang-terangan. Beliau menulis dalam tafsirnya :
قيل: معناه أظهر التبليغ; لأنه كان في
أول الإسلام يخفيه خوفا من المشركين, ثم أمر بإظهاره في هذه الآية, وأعلمه الله
أنه يعصمه من الناس. 9
Arti “baligh” menurut Imam Al-Qurtubi lebih menampakan pada
proses penyampaian amanah kapada masyarakat. Karena di awal penyebaran agama
Islam nabi khawatir kepada orang-orang musyrik Makkah. Kemudian Allah
memerintahkan untuk menampakan kerisalahan tersebut dengan diturunkannya ayat
ini. Dan Allah memberitahu kepada nabi bahwa Allah akan menjaga keselamatannya.
Bahkan bila nabi tidak menyampaikan ayat, menyembunyikan risalah dan amanat
tersebut maka nabi dikatakan sebagai orang yang “kadzab”, berdusta.[7]
Dalam Al-Qur’an banyak memuat istilah-istilah komunikasi
sebagai salah satu metode pembelajaran. Istilah-istilah tersebut adalah ;
Qaulan sadidan (QS 4 : 9), Qaulan maysuran (QS 17 : 28), Qaulan Layinan (QS 20
: 44), Qaulan kriman (QS 17 : 23), Qaulan Mau’rufan ( QS 4 : 5 ) dan istilah ”
Qaulan Balighon” ( Qs 4 : 63 ).[8]
Kata Qaulan Balighan di dalam Al-qur’an terdapat pada surat
An-Nisaa ayat 63. Ayat ini mengisyaratkan mengenai prinsip-prinsip komunikasi
sebagai sarana pembelajaran dan menyampaikan amanah. Ayat tersebut adalah :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ
مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي
أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا(63)
Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka[9].
Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka[9].
Kata “Baligh” dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai
sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata balig
berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang
dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebgai
prinsip komunikasi yang effektif. Komunikasi yang efektif dan efisien dapat
diperoleh bila memperhatikan pertama, bila dalam pembelajaran menyesuaikan
pembicaranya dengan sifat khalayak. Istilah Al-Quran “fii anfusihiim”, artinya
penyampaian dengan “bahasa” masyarakat setempat. Hal yang kedua agar komunikasi
dalam proses pembelajaran dapat diterima peserta didik manakala komunikator
menyentuh otak atau akal juga hatinya sekaligus[10].
Tidak jarang di sela khotbahnya nabi berhenti untuk bertanya
atau memberi kesempatan yang hadir untuk bertanya, terjadilah dialog. Khutbah
nabi pendek tetapi padat penuh makna sehingga menyentuh dalam setiap sanubari
pendengarnya.
2. Surat An-Nahl ayat 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِين
a. Mufrodat
ادْعُ = Serulah (manusia)
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ = kepada jalan Tuhanmu
بِالْحِكْمَةِ = dengan hikmah
وَالْمَوْعِظَةالْحَسَنَةِ = dan pelajaran yang baik
وَجَادِلْهُمْ = bantahlah mereka
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ = dengan cara yang baik
إِنَّ رَبَّكَ = Sesungguhnya Tuhanmu
هُوَ أَعْلَمُ = Dialah yang lebih mengetahui
بِمَنْ ضَلَّ = tentang siapa yang tersesat
عَنْ سَبِيلِهِ = dari jalan-Nya
وَهُوَ أَعْلَمُ = Dialah yang lebih mengetahui
بِالْمُهْتَدِينَ = orang-orang yang mendapat petunjuk
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ = kepada jalan Tuhanmu
بِالْحِكْمَةِ = dengan hikmah
وَالْمَوْعِظَةالْحَسَنَةِ = dan pelajaran yang baik
وَجَادِلْهُمْ = bantahlah mereka
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ = dengan cara yang baik
إِنَّ رَبَّكَ = Sesungguhnya Tuhanmu
هُوَ أَعْلَمُ = Dialah yang lebih mengetahui
بِمَنْ ضَلَّ = tentang siapa yang tersesat
عَنْ سَبِيلِهِ = dari jalan-Nya
وَهُوَ أَعْلَمُ = Dialah yang lebih mengetahui
بِالْمُهْتَدِينَ = orang-orang yang mendapat petunjuk
b. Artinya
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
c. Makna Jumal
Makna umum dari ayat ini bahwa nabi diperintahkan untuk
mengajak kepada umat manusia dengan cara-cara yang telah menjadi tuntunan
Al-Qur’an yaitu dengan cara Al-hikmah, Mauidhoh Hasanah, dan Mujadalah. Dengan
cara ini nabi sebagai rasul telah berhasil mengajak umatnya dengan penuh
kesadaran. Ketiga metode ini telah mengilhami berbagai metode penyebaran Islam
maupun dalam konteks pendidikan.
Proses serta metode pembelajaran dan pengajaran yang
berorientasi filsafat lebah (An-Nahl) berarti membangun suatu sistem yang kuat
dengan “jaring-jaring” (networking) yang menyebar ke segala penjuru. Analogi
ini bisa menyeluruh ke peserta didik, guru, kepala sekolah, wali murid, komite
sekolah dan instasi lain yang terkait. Sehingga menjadi komponen pendidikan
yang utuh, menjadi satu sistem yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang
lain.
d. Pembahasan
Pada awalnya ayat ini berkaitan dengan dakwah Rasulullah
SAW. Kalimat yang digunakan adalah fiil amr “ud’u” (asal kata dari
da’a-yad’u-da’watan) yang artinya mengajak, menyeru, memanggil[11].
Dalam kajian ilmu dakwah maka ada prinsip-prinsip dalam menggunakan metode
dakwah yang meliputi hikmah, maudhoh hasanah, mujadalah. Metode ini menyebar
menjadi prinsip dari berbagai system, berbagai metode termasuk komunikasi juga
pendidikan. Seluruh dakwah, komunikasi dan pendidikan biasanya merujuk dan
bersumber pada ayat ini sebagai prinsip dasar sehingga terkenal menjadi sebuah
“metode”.
Secara etimologi metode berasal dari bahasa Greeka, yaitu
“Metha” artinya melalui atau melewati dan “Hodos” artinya jalan atau cara[12].Dalam
kajian keislaman metode berarti juga “Thoriqoh”[13],
yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu
pekerjaan. Dengan demikian metode mengajar dapat diartikan sebagai cara yang
digunakan oleh guru dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya
proses pembelajaran.
Adapun secara terminologi, para ahli pendidikan
mendefinisikan metode sebagai berikut :
1)
Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode
adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan.
2)
Abd.
Al – Rahman Ghunaimah mendefinisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis
dalam mencapai tujuan pengajaran.
3)
Ahmad
Tafsir mendefinisikan metode mangajar adalah cara yang paling tepat dan cepat
dalam mengajarkan mata pelajaran.[14]
Ada beberapa landasan dasar dalam menentukan metode yang
tepat dalam mengajar diantaranya diulas oleh Abu Ahmadi, beliau mengatakan
bahwa landasan untuk pemilihan metode ialah :
a)
Sesuai
dengan tujuan pengajaran agama.
b)
Sesuai
dengan jenis-jenis kegiatan.
c)
Menarik
perhatian murid.
d)
Maksud
metodenya harus dipahami siswa.
e)
Sesuai dengan kecakapan guru agama yang
bersangkutan[15].
Dalam tafsir Al-Maroghi dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW
dianjurkan untu meniru Nabi Ibrohim yang memiliki sifat-sifat mulia, yang telah
mencapai puncak derajat ketinggian martabat dalam menyampaikan risalanya[16].
Allah berfirman :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ
اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama
Ibrahim seorang yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.
Dalam surat An-Nahl (lebah) ayat 125 ini, terdapat tiga
prinsip dalam implementasi metode penyampaian (dakwah, pembelajaran,
pengajaran, komunikasi dan sebagainya) yaitu ;
1.
Al-Hikmah
Dalam bahasa Arab Al-hikmah artinya ilmu, keadilan,
falsafah, kebijaksanaan, dan uraian yang benar[17].
Al-hikmah berarti mengajak kepada jalan Allah dengan cara keadilan dan
kebijaksanaan, selalu mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar
mengajar, baik faktor subjek, obyek, sarana, media dan lingkungan pengajaran.
Pertimbangan pemilihan metode dengan memperhatikan audiens atau peserta didik
diperlukan kearifan agar tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal.
Imam Al-Qurtubi menafsirkan Al-hikmah dengan “kalimat yang
lemah lembut”. Beliau menulis dalam tafsirnya :
وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه
بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف, وهكذا ينبغي أن يوعظ
لمون إلى يوم القيامة 21
Nabi diperintahkan untuk mengajak umat manusia kepada
“dienullah” dan syariatnya dengan lemah lembut tidak dengan sikap bermusuhan.
Hal ini berlaku kepada kaum muslimin seterusnya sebagai pedoman untuk berdakwah
dan seluruh aspek penyampaian termasuk di dalamnya proses pembelajaran dan
pengajaran. Hal ini diinspirasikan dari ayat Al-Qur’an dengan kalimat “qaulan
layinan”. Allah berfirman :
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا
لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى(44
“Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut”.
Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan
lancar manakala ada interaksi yang kondusif antara guru dan peserta didik.
Komunikasi yang arif dan bijaksana memberikan kesan mendalam kepada para siswa
sehingga “teacher oriented” akan berubah menjadi “student oriented”. Guru yang
bijaksana akan selalu memberikan peluang dan kesempatan kapada siswanya untuk
berkembang.
Al-Hikmah dalam tafsir At-Tobari adalah menyampaikan sesuatu
yang telah diwahyukan kepada nabi. Ath-Thobari menguraikan :
22يقول بوحى الله الذى يوحيه اليك, وكتابه الذى نزله عليك
بالحكمة )
Hal ini hampir senada dengan Mustafa Al-Maroghi bahwa
Al-Hikmah cenderung diartikan sebagai sesuatu yang diwahyukan[18].Demikian
pula dalam tafsir Al-Jalalain Al-hikmah diartikan dengan Al-Qura’nul kariem
sebagai sesuatu yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. An-Naisaburi
menegaskan bahwa yang dimaksud Al-hikmah adalah tanda atau metode yang
mengandung argumentasi yang kuat (Qoth’i) sehingga bermanfaat bagi keyakinan.
Beliau menulis :
(بالحكمة ) اشارة الى استعمال الحجج القطعية المفيدة لليقين24
Nampak dengan gamblang sebenarnya yang dimaksud dengan penyampaian
wahyu dengan hikmah ini yaitu penyampaian dengan lemah lembut tetapi juga tegas
dengan mengunakan alasan-dalil dan argumentasi yang kuat sehingga dengan proses
ini para peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam menerima materi
pelajaran. Materi pembelajaran bermanfaat dan berharga bagi dirinya, merasa
memperoleh ilmu yang berkesan dan selalu teringat sampai masa yang akan datang.
2.
Mauidzah
Hasanah
Mauidzah hasanah terdiri dari dua kata “al-Maudzah dan
Hasanah”. Al-mauidzah dalam tinjauan etimologi berarti “pitutur, wejangan,
pengajaran, pendidikan, sedangkan hasanah berarti baik. Bila dua kata ini
digabungkan bermakna pengajaran yang baik. Ibnu Katsir menafsiri Al-mauidzah
hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi
larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat kepada Allah. Ibnu Katsir
menulis sebagai berikut :
والموعظة الحسنة أي بما فيه من الزواجر والوقائع بالناس ذكرهم
بها ليحذروا بأس الله تعالى25
At-Thobari mengartikan mauidzah hasanah dengan “Al-ibr
al-jamilah” yaitu perumpamaan yang indah bersal dari kitab Allah sebagai
hujjah, argumentasi dalam proses penyampaian.[19]
Pengajaran yang baik mengandung nilai-nilai kebermanfaatan bagi kehidupan para
siswa. Mauidzah hasanah sebagai prinsip dasar melekat pada setiap da’i (guru,
ustadz, mubaligh) sehingga penyampaian kepada para siswa lebih berkesan. Siswa
tidak merasa digurui walaupun sebenarnya sedang terjadi penstranferan nilai.
Al-Imam Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaludin Mahali
mengidentikan kata “Al-Mauidah” itu dengan kalimat مواعظه أو القول الرقيق
artinya perkataan yang lembut[20].
Pengajaran yang baik berarti disampaikan melalui perkataan yang lembut diikuti
dengan perilaku hasanah sehinga kalimat tersebut bermakna lemah lembut baik
lagi baik.
Dengan melalui prinsip mauidzoh hasanah dapat memberikan
pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu. Ada banyak pertimbangan (multi
approach) agar penyampaian materi bisa diterima oleh peserta didik diantaranya
: a).Pendekatan Relegius, yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk relegius
dengan bakat-bakat keagamaan. Metode pendidikan Islam harus merujuk pada sumber
ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, b). Dasar Biologis, pertumbuhan
jasmani memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, c).Dasar
Psikologis, metode pendidikan Islam bisa effektif dan efesien bila didasarkan
pada perkembangan psikis meliputi motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan,
kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal intelektual, d). Dasar Sosiologis,
pendekatan social interaksi antar siswa, guru dengan siswa sehingga memberikan
dampak positif bagi keduanya.
3.
Mujadalah
Kata mujadalah berasal dari kata “jadala” yang makna awalnya
percekcokan dan perdebatan28. Kalimat “jadala” ini banyak terdapat dalam
Al-Qur’an diantaranya dalam surat Al-Kahhfi ayat 54 وَكَانَ الْإِنْسَانُ
أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلً)), dalam surat Az-Zukhruf ayat : 56, (َقَالُوا
أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ
قَوْمٌ خَصِمُونَ). Kalimat “jadala” dengan berbagai variasinya juga bertebaran
dalam Al-Qur’an, seperti pada surat (2:197), (4:107,109), (6:25, 121), ( 7 :
71), ( 11:32,74), (13:13), (18:54,56(, (22:8,68), (29:46), (31;20), (40
:4,5,32,56,69), 24:35), (43:58), (58:1). Bahkan ada surat yang bernama
“Al-Mujaadilah” ( perempuan-perempuan yang mengadakan gugatan)
Mujadalah dalam konteks dakwah dan pendidikan diartikan
dengan dialog atau diskusi sebagai kata “ameliorative” berbantah-bantahan.
Mujadalah berarti menggunakan metode diskusi ilmiyah yang baik dengan cara
lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan hasilnya
diserahkan kepada Allah SWT[21]
Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirmya
bahwa mujadalah ini adalah cara penyampaian melalui diskusi dengan wajah yang
baik kalimat lemah lembut dalam berbicara, seperti firman Allah :
“ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا
منهم” الآية
فأمره تعالى بلين الجانب كما أمر به موسى وهارون عليهما السلام حين بعثهما إلى فرعون في قوله “فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو ي خشى30″.
فأمره تعالى بلين الجانب كما أمر به موسى وهارون عليهما السلام حين بعثهما إلى فرعون في قوله “فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو ي خشى30″.
Metode penyampaian ini dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi
Harun ketika berdialog-diskusi dan berbantahan dengan Fir’aun. Sedangkan hasil
akhirnya dikembalikan kepada Allah SWT. Sebab hanya Allahlah yang mengetahui
orang tersebut mendapat petunjuk atau tidak.Metode diskusi yaitu cara
penyampaian bahan pelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membicarakan, menganalisa guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau
menyusun berbagai alternative pemecahan masalah. Dalam kajian metode mengajar
disebut metode “hiwar” (dialog). Diskusi memberikan peluang sebesar-besarnya
kepada para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya kemudian
dipadukan dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran,
menghormati pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya
dan disisi lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi,
kemampuan dan bakat bawaannya.
An-Naisaburi memberikan ilustrasi bahwa mujadalah itu adalah
sebuah metode “أي بالطريقة”. Diskusi (mujadalah) tidak akan memperoleh tujuan
apabila tidak memperhatikan metode diskusi yang benar, yang hak sehingga
diskusi jadi “bathal” tidak didengarkan oleh mustami’in[22].
Metode mujadalah lebih menekankan kepada pemberian dalil,
argumentasi dan alasan yang kuat. Para siswa berusaha untuk menggali potensi
yang dimilikinya untuk mencari alasan-alasan yang mendasar dan ilmiyah dalam
setiap argumen diskusinya. Para guru hanya bertindak sebagai motivator,
stimulator, fasilitator atau sebagai instruktur. Sistem ini lebih cenderung ke
“Student Centre” yang menekankan aspek penghargaan terhadap perbedaan individu
para peserta didik (individual differencies) bukan “Teacher Centre”.
I.
PENUTUP
Al-Quran sebagai sumber segala sumber pedoman menjadikannya
inspirator yang sangat kental dalam setiap gerak pemikiran umat Islam. Dalam
berbagai bidang masyarakat muslim yang relegius akan selalu merujuk kepada
wahyu sebagai firman Tuhan yang disampaikan melaluinya nabi-NYA.
Pendidikan merupakan salah satu sendi dalam beragama. Ajaran
Islam bisa bertahan sampai saat ini salah satunya karena ada proses pendidikan
disamping dakwah tentunya. Islam berkambang dan hidup mencapai masa keemasan
(Islam Kalsik) karena ada tradsisi ilmiyah, tradisi intelektual dengan semangat
mengamban amanat suci menyebarkan ajaran Islam ke penjuru dunia. Para da’i yang
menyebar ke seluruh penjuru dunia tersebut menggunakan Al-Qur’an sebagai
pedoman baik dari segi orientasi, tujuan, cara atau metode penyampaian, media
dan alat bahkan materi yang terkandung dalam penyampaiannya pun diambil dari
Al-Quran.
Dalam surat Al-Maidah ayat 67 mengandung unsur perintah
untuk menyebarkan agama Islam sebagai pedoman hidup. Ayat inilah yang
memberikan motivasi kepada nabi untuk menyampaikan risalah kenabian. Ada
ungkapan “Sampaikan ajaran Islam ini walaupun satu ayat”. ( بلغوا عنى ولو اية).
Walaupun pada awalnya nabi merasa khawatir kepada kaum musyrikin Makkah namun
karena ada dorongan dan perintah Tuhan (dan Tuhan telah memberikan jaminan
keselamatan) maka nabi dengan keberanian menyampaikan risalah kenabian tersebut
kepada umatnya.
Dalam menyampaikan risalah tersebut Nabi Muhammad SAW
memperoleh pedoman yang sangat berharga yaitu berupa prinsip-prinsip dasar
dalam metode menyampaikan materi ajaran Islam yang tercantum dalam surat
An-Nahl ayat 125. Ayat ini memuat tentang prisnsip-prinsip berdakwah (
mengajar, mendidik ) yang terdiri dari Al-Hikmah (arif-bijaksana bersumber dari
Al-Qur’an), Maudzoh Hasanah (perkataan yang baik, lemah lembut) dan Mujadalah
(diskusi, dialog bila perlu berdebat ).
Prinsip dasar ini berkembang menjadi beberapa
inspirasi dalam konteks kekinian baik dalam bidang dakwah, komunikasi, public
relition, pendidikan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan interaksi sesama
manusia. Pendidikan sebagai salah satu bagian dari dakwah yaitu mengajak manusia
dalam hal kebaikan dan mencegah keburukan tidak terlepas dari penggunaan
beberapa prinsip tersebut di atas. Sehingga peserta didik bisa mendapatkan ilmu
serta terjadi perubahan tingkah laku yang diharapkan dari setiap proses
kegiatan belajar
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam, ( Bandung : Remaja Rosda Karya, 1992), hlm. 131
[2] Untuk
memudahkan penerjemahan dan standarisasi pemahaman lihat dan bandingkan dengan
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya ;Dengan Transliterasi, (
Semarang : Karya Toha puta, tt), hlm. 221-222
[3] K.H.Qamaruddin
Shaleh DKK, Asbabun Nuzul ; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
Al-Qur’an, ( Bandung : CV. Diponegoro , 1992), hal.189
[4] Ibid.
Untuk lebih jelasnya, baca lebih jauh Asbabun Nuzul Surat Al-Maidah ini dalam
halaman 189–191. Di sini banyak riwayat yang menjelaskan sebab-sebab turunnya
ayat ini dengan berbagai versinya. Termasuk cerita ketika nabi sedang istirahat
berteduh di bawah pohon, pedang beliau digantungkan di pohon. Maka datanglah
seorang laki-laki dan mengambil pedang tersebut sambil berkata : Siapa yang
menghalangi Engkau dariku wahai Muhammad ?. Nabi bersabda : Allah yang akan
melindungiku dari godaanmu. Ketika pedang itu diletakannya kembali maka
turunlah ayat ini ( S.5 : 67 ) yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa Rasulullah
dari tangan usil manusia.
[5] Al-Imamul
Jalalain, Tafsir Al-Quranul Adzim, ( Indonesia, Maktabah Dar ihya al-kutub
al-arabiyah, tt), hlm. 104. Kitab tafsir ini terkenal dengan nama tafsir
“Jalalain”, artinya dua Jalal. Yang dimaksud dengan dua Jalal adalah nama tokoh
ilmuwan Islam dalam bidang tafsir yaitu Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Mahalli
dan Jalaluddin Abdurahaman ibn Abi bakr Asy-Syuyuti. Di pesantren kitab tafsir
ini menjadi salah satu kitab tafsir wajib yang harus dipelajari bagi setiap
santri ( menjadi kontens kurikullumnya pesantren)
[7] Ibid. من
حدثك أن محمدا صلى الله عليه وسلم كتم شيئا من الوحى فقد كذب; والله تعالى يقول:
“يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته” وقبح الله
الروافض حيث قالوا: إنه صلى الله عليه وسلم كتم شيئا مما أوحى إليه كان بالناس
حاجة إليه.
[11]
Faisal Ismail, Dakwah pembangunan ;
Metodologi Dakwah, ( Yogyakarta : Penerbit Prop. DIY, 1992), hlm. 199
[13]
Ramayulis, Pendidikan Agama Islaam ( Jakarta : Kalam Mulia,
2006), hlm. 184
[14]
Ibid., hlm. 184-185
[15]
Abu Ahmadi., Op Cit., hal 104
[16]
Ahmad Mustofa Al-Maroghi, Tafsir Al-Maroghi, (terjemah), (
Semarang : Toha Putra, 1987), hlm. 289
[17]
Husen Al-Habsy, Kamus Arab Lengkap, ( Bangil : YAPPI, 1989),
hlm. 64
[18]
. Al-Mustofa Al-Maroghi, Loc.Cit,
[19] Ath-Thobari, Loc. Ci.
[20] Jalaludin Asy-Syuyuti daan Jalaluddin Mahalli, Loc., Cit.
[22] An-NAisaburi,
Loc., Cit.